The New Era for Contemporary Design Center in Jakarta
Oleh: Rafael Arsono
Sayembara renovasi fasade gedung Jakarta Design Center (JDC) yang diadakan IAI Jakarta beberapa bulan lalu adalah sebuah proyek facelift yang juga mencakup penataan halaman muka serta entrance gedung tersebut. Sayembara “operasi wajah” mencari desain yang mampu menyegarkan wajah JDC yang dianggap tidak lekang jaman. Gedung JDC dirancang oleh Ir.Murito pada akhir tahun 1980-an. Pada masa itu JDC bisa jadi sangat hype dengan stepped box pada sudut gedung, khas semangat post-modern yang sempat bergaung di Indonesia.
Namun di jaman semua-serba-internet, dimana demand terhadap perubahan dan sesuatu yang baru meningkat drastis, dan munculnya kelompok masyarakat pembosan (boring society), JDC saat ini nampak tua, kusam dan tidak bicara apa-apa selain menjadi showroom produk interior import dari seluruh dunia. Masyarkat awam desain pun lebih mengenal JDC sebagai showroom sekaligus ruang sewa seminar ketimbang sebuah ‘pusat desain’.
Dari gambaran di atas, timbul sebuah pertanyaan: arsitektur seperti apakah yang sesuai dengan sebuah pusat desain di Jakarta sekaligus yang dapat mencerminkan semangat kekinian? Pada sayembara ini, saya beserta dua partner arsitek, Ardes Pradhana dan Paskalis Khrisno Ayodyantoro, mengedepankan dua fungsi fundamental yang muncul dari keberadaan JDC saat ini dan di masa datang, yaitu: JDC sebagai showroom desain (fungsi komersial), seperti yang sudah dikenal banyak orang serta JDC sebagai wadah pusat desain (fungsi kultural), mengembalikan JDC pada hakikatnya (design center).
Kedua kepentingan tadi diikuti dengan negosiasi program pada beberapa lokasi di lantai dasar. Sebagai sebuah pusat desain, gedung ini harus lebih terbuka terhadap publik, ramah terhadap pejalan kaki.
Mengingat semakin minimnya free-public open space di Jakarta, halaman muka didedikasikan sepenuhnya terhadap publik dengan sebuah plaza yang terbuka bagi warga kota untuk berekspresi sewajarnya di dalamnya dan memindahkan parkir mobil ke basement. Dengan membuka lantai basement baru, kuota parkir bertambah, serta memaksimalkan fungsi muka bangunan sebagai ruang publik yang ramah lingkungan. Dari jalan, plaza ini berangsur naik mengarah sejajar ketinggian lobby di lantai dasar. Sebuah jalur pedestrian ditarik dari trotoar menerus masuk ke dalam lantai dasar menembus lobi, seakan mengintervensi pejalan kaki dan mengajak masuk ke dalam. Jalur ini tidak simetris—miring—terhadap lobi, sehingga memberikan ketegangan baru, memecah kekakuan desain bangunan asli yang cenderung simetri. Sebagai ruang transisi yang menarik perhatian pengunjung, plaza ini bisa dimaksimalkan menjadi tempat pameran outdoor temporer. Water-feature berupa kolam air mancur merefleksikan bangunan serta menjadi sumber cahaya alami ke lantai parkir di bawahnya. Dapat dibayangkan kerjasama dengan seniman dalam pembuatan artwork mampu memaksimalkan peran plaza lebih dari sekedar taman.
Program lain yang disuntikkan di lantai dasar adalah sebuah fungsi ‘museum kecil’ tentang desain, arsitektur, dan ketatakotaan. Kegiatan ritel di lantai dasar dikurangi, digantikan dengan pusat informasi desain dan kafetaria, serta hall pameran. Sebagai pusat desain, lantai dasar akan diramaikan dengan kegiatan kultural dan edukatif seperti eksibisi, diskusi tentang desain, serta menjadi tempat kongkow baru para desainer dan arsitek. Kontras dengan keberadaan grid kolom pada interior bangunan asli, ruang dibagi secara organik dengan pembatas transparan yang meliuk diantara kolom-kolom. Selain memberikan flow ruang yang lebih dinamis dan bebas, juga menjauhkan kesan sepi dan “angker” dari tata interior eksisting yang cenderung me-lorong.
Pada proyek facelift selalu mengharap klimaks justru di luar bangunan, yaitu pada wujud
bangunan itu sendiri setelah ‘dioperasi’. Material membran dipilih sebagai kulit yang membungkus fasad lama. Kulit yang me-layar ini kami anggap mampu meluweskan JDC yang rigid, layar ini pun tersibak sedemikian rupa membentuk relung aerodinamis yang menaungi area lobi dan drop-off. Kulit disobekkan pada beberapa bagian untuk memberikan celah angin dan cahaya. Efek tersibak dan tersobek ini adalah gambaran dari kecepatan kendaraan yang lewat di jalan, di atas flyover di depan JDC. Material fabric sebenarnya menerapkan teknologi layar tancap yang sudah dikenal dan sangat kenal di masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Di satu sisi mengandung intepertasi lokalitas, di sisi lain mampu menampilkan kesan ringan dan fashionable.
Memberikan penekanan pada “tempat”, sebagai sebuah bangunan yang berdiri di tengah persimpangan sibuk, mencitrakan konteks yang chaos, serta jaman yang menghendaki perubahan cepat, fasad baru JDC mau tidak mau harus mencitrakan kekinian. Fasad JDC baru dapat dibayangkan sebagai sebuah lampion yang menyala di malam hari dengan berbagai warna, sekaligus menjadi ‘layar tancap’ yang disorot image tertentu. Plaza di muka gedung kemudian menjadi tempat yang ideal untuk menikmati perubahan yang terjadi pada layar membran, sehingga terjadi relasi antara keseluruhan pendekatan desain.
Sebagai satu kesatuan desain, konsep makeover yang dinilai dewan juri overbudget ini, mengemban misi sebagai generator kota, meningkatkan apresiasi publik Indonesia terhadap arsitektur serta mampu menempatkan JDC pada posisi inovatif dan mencerminkan semangat kekinian dalam dunia desain.
Entry Sayembara Desain Muka JDC
Arsitek : Ardes Pradhana, Paskalis Khrisno Ayodyantoro, Rafael Arsono
3D Image : Paskalis Khrisno Ayodyantoro