Permukiman Kumuh, antara sosial dan arsitektur.?Studi kasus : jakarta
Pada dasarnya kelompok masyarakat terdiri dari 10% amat kaya; 20% kaya; 30% menengah dan 40% yang tergolong lapis bawah dengan penghasilan terbatas. Yang menjadi perhatian dari tulisan ini adalah kelompok masyarakat bukan yang 10% dan 20% di atas. (1)
Kota Jakarta telah mengalami perkembangan yang demikian besar turut menambah dampak urbanisasi yang besar. Permintaan layanan perkotaan, terutama perumahan dan pemukiman, ternyata jauh lebih besar dari pada ketersediaan yang ada. Sehingga salah satu pengaruh yang besar diperkotaan adalah masalah perumahan, terutama perumahan kaum miskin. Kemampuan yang rendah dari pemerintah dalam menyediakan perumahan yang terjangkau dan layak huni ini kemudian menciptakan sendiri suatu masalah baru yaitu timbulnya suatu komunitas atau kumpulan penduduk yang menempati ruang-ruang terbuka yang ada untuk dijadikan rumah mereka. Kaum migran yang miskin dan tidak berpendidikan, terbukti dapat menciptakan perumahan dan pemukiman mereka sendiri tanpa bantuan siapa pun. Sehingga mereka membangun rumah-rumah mereka di lahan-lahan kosong di tengah kota, dimana dekat dengan lapangan kerja mereka. Pengertian kampung kemudian muncul dimana penduduk-penduduk imigran ini menciptakan suatu area tinggal yang tidak memperhatikan peruntukan tanah, topografi, hak tanah, syarat kesehatan, bahkan kuburan.(2)
Pengertian perkampungan kumuh adalah dimana suatu daerah muncul akibat padatnya ibukota dan kualitas perekonomian yang semakin rendah, sehingga terjadi pemakaian lahan-lahan kosong yang berada di pinggiran kota yang akhirnya mengakibatkan bermunculannya tempat tinggal sementara para komunitas masyarakat perekonomian rendah yang di bangun tanpa adanya peraturan dan perencanaan kota yang ada. Menurut data 2001, permukiman kumuh mencapai 4,2% dari total 29.23Ha area permukiman yang ada di jakarta(3), disini menunjukkan bahwa permasalahan permukiman menjadi suatu masalah yang seharusnya ditanggulangi secara bersama-sama tanpa mengorbankan pihak tertentu.
Kumuh kemudian berkembang tidak hanya terbatas pada lahan diatas tanah namun juga terdapat dirumah susun yang didiami oleh penduduk marjinal atau kaum pinggiran. Ketidakteraturan tersebut kemudian membentuk suatu stigma masyarakat, bahwa penduduk kumuh adalah sumber dari kejahatan, ketidakteraturan dan kriminalitas yang terjadi di masyarakat perkotaan dan harus dihapus. Pada kenyataannya, seluruh penduduk seharusnya memiliki hak yang sama dalam mendapatkan fasilitas perkotaan dan permukiman yang layak dan baik. Namun dari peraturan pemerintah yang sudah ada, masih banyak ketimpangan yang tidak memihak rakyat banyak. Peraturan Presiden No.36 Thn 2005 yang telah diajukan juga memiliki banyak kontroversi, karena banyaknya ayat-ayat yang mencantumkan kepemilikan tanah pada pemerintah dan investor, tanpa memikirkan rakyat banyak. (4)
Permukiman harus memegang peranan utama dalam strategi pembangunan nasional, dan motor pertumbuhan dari pembangunan itu berpusat pada konstruksi dan modernisasi pemukiman (5). Pernyataan Sudjatmoko ini menjadi benar, karena apabila pemerintah hanya selalu menganggap kumuh adalah masalah sosial yang harus dituntaskan dengan menggusur tanpa penyelesaian yang baik, maka pembangunan suatu pemerintahan akan selalu tersendat karena hanya mengurusi dampak yang timbul dari akibat sampingannya. Seharusnya pemerintah dapat membangun dan merencanakan masalah perencanaan permukiman dengan baik dan tepat sasaran agar terjadinya produktifitas suatu kota dengan baik dimbangi dengan penyelesaian masalah lain seperti masalah pekerjaan dan transportasi. Dengan membangun suatu sistem permukiman dan konstruksi yang modern, diharapkan setiap penduduk dapat dengan nyaman tinggal di suatu kota tanpa merasakan dikejar-kejar aparat yang ingin menggusur dan dapat terjalin suatu sistem kota dengan sirkulasi permukiman dan area kerja yang efesien sehingga terciptanya peningkatan produktifitas dan penurunan tingkat energi seperti minyak dan gas yang digunakan sebagai bahan bakar transportasi yang kian menipis untuk mendukung program kota yang berkelanjutan.
?ARSITEK DAN ARSITEKTUR KAMPUNG
?Pemecahan masalah perkampungan kumuh di Jakarta juga melibatkan para arsitek dan ahli perkotaan. Ruang-ruang yang terbentuk dalam kota sebaiknya menjadi tanggung jawab arsitek dan ahli perkotaan, karena pada dasarnya arsitek dan ahli perkotaan memiliki pengetahuan spasial yang lebih sehingga bisa menerapkan suatu pemecahan masalah tersebut dengan lebih baik.
Berbicara mengenai masalah ruang kota dan perkampungan kumuh, berarti berbicara mengenai kepadatan tinggi atau high density. Jakarta adalah salah satu kota dengan masalah kepadatan tinggi yang serta merta membentuk suatu kebudayaan dan keanekaragaman yang tinggi pada setiap meternya. Arsitek sudah seharusnya mencari suatu penyelesaian terhadap kepadatan tinggi ini. Kebanyakan arsitek justru berpendapat bahwa kepadatan tinggi dan ruang kota adalah masalah yang seharusnya dihadapi oleh planologi, namun ruang kota yang sarat dengan sumber daya langka (termasuk ruang) adalah merupakan salah satu tanggung jawab arsitek. Dan penurunan tingkat kepadatan tinggi menjadi suatu kemunduran dari arsitek karena kurangnya pemahaman dan kreatifitas arsitek dalam menanggapi kelangkaan ruang yang ada. Sudah seharusnya kepadatan tinggi hendaknya menempati atau mengisi seluruh kota bukan secara parsial (6).
Penciptaan-penciptaan kreatifitas penyelesaian masalah ruang ini kemudian perlu dilandasi dengan pemahaman kebudayaan-kebudayaan masayarakat yang ada sehingga terjadi keserasian dan ketepatan pemecahan masalah ruang kota. Rakyat bergerak mencari nafkah dan tempat bermukim yang sesuai dengan kemampuan mereka untuk bekerja mencari nafkah. Gerakan semut yang mencari sumber-sumber gula seperti ini, seharusnya diterima sebagai kenyataan sosial yang tak terelakkan (7). Dan sebaiknya arsitek, termasuk pemerintah dapat menerapkan penyelesaian masalah tersebut dengan lebih bijak.
Kebudayaan-kebudayaan yang telah ada dalam masyarakat kelas bawah, tidak serta merta dihilangkan. Karena sebagai ciri khas sebuah masyarakat kelas bawah dengan tingkatannya masing-masing kebudayaannya tersebut, justru menjadi bagian dari kehidupan mereka yang tidak dapat terpisahkan. Pemahaman yang ada terhadap kebudayaan ini, sebaiknya tertuang dalam penyelesaian masalah pembangunan dalam kepadatan tinggi, sehingga masyarakat kelas bawah ini nantinya dapat menerima rumah barunya dengan baik. Pada contohnya, Eko prawoto menjelaskan bahwa kebudayaan masyarakat indonesia memiliki ciri adanya ruang-ruang yang terbentuk karena adanya komunitas yang berkumpul dalam ruang yang tercipta dari bangunan sekitar (space not form), kemudian ditambahkannya lagi bahwa kebudayaan indonesia memiliki ciri khas dalam menyikapi material dengan lokal genius yang berbeda sehingga menciptakan sifat keganjenan dalam membuat ornamen dekoratif atau dalam penyikapan estetika material (8). Dalam pemecahan masalah pembangunan berkepadatan tinggi, sang arsitek seharusnya dapat membaca contoh dari kebudayaan ini, sehingga menciptakan penyelesaian masalah yang baik dan para masyarakat ini dapat tinggal dan memiliki sense of belonging yang tinggi terhadap hunian baru mereka.
?JAKARTA DAN SUDUT 4,2%NYA
?Seperti kita ketahui 4,2 % luas lahan permukiman jakarta berisikan permukiman kumuh. Sebagai contohnya adalah perkampungan bawah jembatan di Pluit, dimana perkampungan ini memiliki semua ciri khas perkampungan kumuh (9).
1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.?2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaa ruang-ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.?3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam pengunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.?4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai:?a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.?b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau sebuah RW.?c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan, dan bukan hunian liar.?5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen. Warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat pendapatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.?6. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal.
Seharusnya di perkampungan ini bisa dilihat potensi-potensi positif dari segi arsitektural dalam pemanfaatan penggunaan ruang negatif dengan lebih baik lagi. Disini bisa dilihat kurangnya kejelian pemerintah dalam menanggapi ruang-ruang negatif yang tercipta akibat pembangunan infrastruktur kota seperti jembatan dan jalan layang. Sebaiknya ruang-ruang negatif tersebut justru bisa dimanfaatkan sebagai ruang tinggal bagi masyarakat marjinal, karena terletak dibawah jembatan layang yang menjadi ruang negatif kota. Sebagai gambarannya, berikut akan disajikan studi spasial yang telah dilakukan oleh tim Andra Matin Architects untuk pameran CP Bienalle di Jakarta, Agustus 2005 (10).
Pola perkampungan kumuh lainnya di jakarta juga dapat terlihat di tempat-tempat lain yang memiliki ciri khas atau kategori permukiman kumuh, tempat-tempat ini memiliki kesamaan yaitu adanya penempatan lahan yang tidak semestinya seperti daerah bantaran kali sekitar kali Palmerah. Pemanfaatan lahan ini juga tidak memikirkan tingkat kesehatan serta kelayakan rumah yang baik. Bisa dilihat pemanfaatan tempat sampah selain sebagai tempat mencari nafkah juga sebagai tempat tinggal yang pastinya rentan terhadap penyakit. Selain penyakit, permukiman kumuh ini juga berada di daerah bantaran kali yang seharusnya menjadi daerah luapan sungai dan bisa menimbulkan banjir .
Setiap arsitek, pada akhirnya harus bisa memikirkan masalah kelangkaan ruang berkepadatan tinggi dan diharapkan bisa menciptakan kreatifitas dan metode baru dalam menjawab masalah tersebut. Masalah utama dalam pembangunan berkepadatan tinggi khususnya permukiman kumuh adalah peningkatan taraf hidup yang lebih baik bagi mereka serta pemanfaatan lahan yang efisien bagi jakarta yang terus berkembang yang juga terus menyempit karena lahan yang tidak turut ikut berkembang.
Pendekatan pembangunan permukiman kumuh kemudian mencapai suatu titik bahwa jakarta sudah seharusnya memulai pembangunan berkepadatan tinggi secara vertikal dan bisa tepat sasaran yang dituju. Pembangunan permukiman kumuh sebaiknya berlandaskan pada pembangunan berlandaskan masyarakat, karena pada dasarnya pembangunan permukiman kumuh berasal dari komunitas-komunitas yang sama. Dengan menempatkan masyarakat itu sendiri sebagai sumberdaya pelaku utama pembangunan dan dibantu pemerintah sebagai aparatur dan arsitek sebagai guru mereka, diharapkan pembangunan permukiman kumuh menuju taraf hidup yang lebih baik bisa lebih maksimal.
referensi
1. (http://www.mukimits.com/rusun.htm)?2. Tarumanegara, Universitas 2006. High Density. Kepadatan Penduduk yang Tinggi. Darrundono. Sketsa 21. Hal 4-5. Jakarta : Arsitektur Univeritas Tarumanegara?3. http://www.suarapublik.org/Artikel/rusun_5.htm?4. Bab III Pasal 9 Ayat (2):Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk di antara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka.?5. Sudjatmoko, 1983 Dimensi Manusia dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES.?6. Tarumanegara, Universitas 2006. High Density. Kepadatan Tinggi. Marco Kusumawijaya. Sketsa 21. Hal 26-27. Jakarta : Arsitektur Univeritas Tarumanegara?7.Urban Poor Consortium – narasi kemiskinan,http://www.urbanpoor.or.id/content/view/125/93/?8. Prawoto, Eko. Talk Show IAI. Arsitektur Indonesia, Jakarta 17 September 2006?9. Suparlan, Parsudi. Prof. DR. Segi Sosial dan ekonomi permukiman kumuh,?10. Matin, Andra. Studi Pemanfaatan Ruang bawah Jembatan Layang, CP Bienalle 2005, Jakarta