Kota cantik yang tidak sekedar bedak arsitektural

Peran Arsitek dalam Menata wajah kota.

[1]

Seorang bapak separuh baya, tampak menenteng sebuah kayu bekas yang masih banyak terdapat paku diataranya. Di matanya memancarkan senyum puas menutup peluh lelah. Baru saja ia menyelesaikan rumah barunya yang mungil, lengkap dengan ornamen ukiran-ukiran klasik dari gypsum pracetak dan kolom ionik yang ia dapat dari toko bahan bangunan bekas, tertata dan berdiri dengan cantiknya dibawah jembatan layang. Pandangan ini begitu jelas terlihat ketika kami berada dalam satu perjalanan analisa sosial di sudut kota Jakarta, 2005, bersama teman-teman untuk studi pameran, begitu jelas karena ia bersama komunitasnya telah memiliki suatu jawaban atas harapan untuk bisa tinggal dan memiliki hunian pribadi di kota Jakarta. Harapan yang diberikan oleh pejabat strata bawah bersama penegak kelas bawah yang telah memberikan ijin untuk mereka tinggal, tanpa ada kepastian hukum yang jelas.

Tahun-tahun ini, pemandangan tersebut berubah menjadi suatu bentuk vista yang memilukan, karena pemerintah telah mengambil keputusan untuk menggusur penduduk yang tinggal di bawah jembatan, karena dinilai bangunan mereka telah merusak wajah kota. Mereka dianggap menempati ruang kota dengan tidak semestinya dan tergusur tanpa adanya rencana pengalokasian penduduk. Kondisi ini memperjelas kurang adanya perencanaan tata ruang kota bagi kaum marginal, serta carut marutnya hukum dan peraturan tata kota di Indonesia, khususnya di Jakarta.

Inilah salah satu wajah jakarta, setiap tahunnya.

[2]

Di lain tempat, seorang wisatawan tampak antusias menyandang tas besarnya, berusaha menjelajahi sebuah jalan tengah kota yang menjadi daya tarik negara tersebut. Tampak ia sedang melakukan sebuah ekspedisi arsitektur dengan memetakan semua objek wisata yang ia ingin kunjungi. Sembari melepas lelah, ia duduk, membuka laptopnya dan kemudian mencari informasi tentang alamat dan letak bangunan yang akan ia kunjungi lewat bantuan internet wifi yang bertebaran disetiap tempat umum kota tersebut. Dalam sekejap, wisatawan itu mengepak laptopnya, kemudian pergi menuju stasiun MRT (mass rapid transportation) terdekat dengan tersenyum puas.

Singapura memang sedang menggalakkan kotanya sebagai tujuan wisata internasional serta sebagai tempat tinggal yang menyenangkan, dengan semangat “To Make Singapore A Great City to Live, Work and Play In”, Singapura berusaha membuat kotanya menjadi kota yang ramah dan dapat di akses oleh siapa saja. Dibentuknya URA (Urban Redevelopment Authorities) memberikan hasil yang postif bagi perencanaan kotanya. Setiap lahan yang berada di Singapura diawasi dan diatur pembangunan dan pengembangannya oleh pemerintah demi kenyamanan bersama, sehingga memaksimalkan penggunaan fungsi lahan tersebut. Informasi perencanaan kawasan dapat diakses langsung melalui internet atau lewat kantor dan museum URA oleh masyarakat awam, pendatang, dan para pengembang, Dengan cara semacam ini, pemerintah dan masyarakat dapat bersama-sama mengawasi perkembangan kotanya masing-masing, sehingga dapat terjalin keterlibatan masyarakat (advocacy) dalam perencanaan kotanya.

Terlebih dengan adanya keinginan singapura sebagai pusat ekonomi kreatif asia didukung gerakan nasional tahun 2005 yang berisikan : Design Singapore, Media 21 dan Rennaisance City 2.0, mereka berharap adanya peningkatan ekonomi sebanyak dua kali lipat dalam tujuh tahun. Gerakan ini kemudian juga diimbangi dengan pengembangan kawasan waterfront Marina Bay sehingga kawasan ini bisa menjadi kawasan wisata dan destinasi pariwisata internasional. Singapura kemudian membuka kawasan ini untuk dikembangkan oleh penanam modal dan mewajibkan adanya ketentuan desain yang unik serta standar biro atau arsitek kaliber dunia (starchitects) bagi setiap bangunan yang akan dibangun di area ini. Sebutlah Michael Graves, KPF, Aedas dan Moshe Safdie, sudah ditunjuk untuk membangun fasilitas wisata di kawasan ini, belum disebutkan arsitek lain yang sudah membangun di kawasan lain, seperti Zaha hadid, Toyo ito, SMC Alsop, Fumihiko Maki, Fosters, dan lain sebagainya. Tidak terlewat rencana Singapura tahun 2008 nanti sebagai tuan rumah pertama kalinya penyelenggaraan balap mobil Formula One pada waktu malam ditengah kota membuat Singapura semakin menarik menjadi destinasi pariwisata internasional. Hal ini bisa terwujud tak lain karena kesiapan struktur dan rencana kotanya sendiri.

Mengintip Singapura, perlu juga kita menilik pembangunan daerah Bilbao, Spanyol. Salah satu kota terbesar di Spanyol ini sempat turun citranya karena adanya serangan teroris dan penculikan karena konflik internal dalam negara. Pemerintahnya kemudian mengambil inisiatif untuk merubah kotanya secara besar-besaran, dari citra kota industri menjadi kota budaya yang dibangun oleh arsitek kaliber internasional. Dalam beberapa saat, Bilbao menjadi kota yang kontemporer dan menarik. Mulai dari bandara buatan Santiago calatrava, jalur transportasi Norman foster, kawasan komersial Caesar peli hingga museum Guggenheim oleh Frank gehry.

Perkembangan asitektur yang dipuncaki oleh pembangunan Museum Guggenheim tahun 1997 tersebut kemudian membuat Bilbao effect dimana sebuah arsitektur dan perencanaan kota dapat merdampak pada meningkatnya aktifitas pariwisata dan berlanjut ke meningkatnya aktifitas di segala bidang. 1,37 juta pengunjung memberikan 147 juta dolar US pada ekonomi lokal pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 170 juta dolar US pada tahun berikutnya. Bahkan dalam waktu 3 tahun, pemerintahnya telah berhasil mencapai break even point untuk pembangunan museum.

[3]

Kota menurut Bintarto, adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistik. kota adalah puncak simbol kebudayaan manusia, dimana ragam manusia mencari nasib dan merusaha mewujudkan mimpi dan harapan mereka. Seharusnya sebuah kota yang tumbuh dari keheterogenan dapat menjadi sebuah karya seni sosial, ekonomi, dan budaya, sehingga dituntut adanya kreatifitas, inovasi dan imajinasi yang bisa memenuhi semua kebutuhan para penduduknya. Dapat dibayangkan bahwa kota, sebagai puncak peradaban akan berisikan keragaman budaya, dan ketika masing-masing arsitek diberikan tugas untuk membangun, tanpa ada aturan tata kota, dan sensitivitas urban serta permasalahnya, maka akan terjadi kechaosan dalam wajah kota, karena masing-masing arsitek berlomba membuat tanda atau mengkontraskan (contrasting) bangunan mereka terhadap lingkungannya.

Kota-kota besar di Indonesia khususnya Jakarta, kini sedang mengalami City decay dynamic, karena memekarnya penduduk kota ke sub urban yang disebabkan tingginya biaya hidup dan tidak terwujudnya penataan permasalahan high density. Menurut Phillip kotler, untuk mengembalikan citra kota menjadi positif kembali, perlu diadakannya sebuah perubahan citra dan identitas kota yang melibatkan seluruh kota seperti apa yang dilakukan oleh Singapura, Bilbao, Dubai, Jerman, dan lainnya. Kita sebagai arsitek sudah seharusnya melakukan perubahan dan cara pandang baru dalam meningkatkan kualitas dan wajah kota, bukan sekedar tipuan arsitektural yang menciptakan keindahan bagi pengamatnya, namun juga menjadi fungsional bagi orang-orang yang menempatinya.

[4]

Kita mulai sadar akan ketimpangan produk kapitalisme yang mulai merambah ke ruang sosial dan budaya kita sehingga menciptakan sebuah kesenjangan yang signifikan. Maka dari tiu perlu adanya strategi untuk mengembalikan jati diri kota khususnya budaya kota itu sendiri, agar arsitek tidak lagi silau oleh keagungan kecantikan yang ditawarkan oleh desain arsitek asing yang terkadang tidak kontekstual dengan kota kita seperti menurut Eko Budihardjo tentang merebaknya bangunan kotak-kaca yang disebut architectural pornography, karena ketelanjangannya tidak menyisakan peluang bagi pengamatnya untuk berimajinasi dan tidak sesuai bagi kondisi lingkungan dan budaya kita. Strategi yang mungkin bagi arsitek dalam mengubah wajah kota adalah :

1. Arsitek berperan dalam menentukan kreatifitas langgam dan gaya bangunan yang sesuai dalam ruang kota. Dengan memahami sensitivitas urban dan arsitektur, maka arsitek bisa memberikan input bagi pengguna tentang bangunan yang bisa mewadahi isinya sesuai dengan konteks lingkungan. Disini arsitek akhirnya dapat menentukan kapan saatnya bangunannya akan menjadi kotekstual (context) atau kontras (contrast) dengan lingkungannya, dan yang terpenting memenuhi kebutuhan penggunanya.

2. Arsitek mengikutsertakan sasaran pengguna dan masyarakat (advocacy) dalam melakukan perencanaan dan perancangan kawasan atau arsitektural, termasuk kawasan slums (daerah kumuh yang diakui sebagai permukiman) dan kawasan squatter elements (permukiman liar yang menempati lahan yang tidak ditetapkan) yang diisi oleh masyarakat sosial ekonomi bawah. sehingga sasaran perancangannya menjadi tepat guna bagi masyarakat, dan bersama masyarakat, arsitek dapat bersama-sama membangun kota yang lebih baik.

3. Arsitek berkampanye tentang kesadaran tentang (ber)arsitektur yang baik. Dengan melakukan peyuluhan bangunan, kampanye sosial di masyarakat, institusi pendidikan secara dini, kampanye melalui peraturan bangunan yang pro terhadap semua golongan. Arsitektur akhirnya bisa menjadi debat publik tentang bagaimana mengisi ruang kota yang baik sehingga kaidah “architecture should reflect continuity and connectivity of culture, climate, and craft.” dapat terwujud dengan baik.

4. Arsitek berperan dalam pengambilan keputusan dalam setiap proyek komersial. Kebanyakan program pembangunan komersial hanya berlomba-lomba menjadi landmark dan merusak tatanan visual kota untuk mendapatkan satu tanda yang mudah dikenali dan meningkatkan keuntungan sepihak. Arsitek menurut Ridwan kamil, diharapkan bisa memiliki kemampuan project visioning dalam mempengaruhi keputusan proyek sehingga bisa meningkatkan kualitas kawasan dalam proyeknya.

5. Arsitek berperan dalam memberikan ide kreatif solusi pemecahan masalah-masalah arsitektur-urban, seperti menurut Winny maas ada beberapa proses skala besar sosiologis dan ekologis yang melibatkan arsitektur, dimana arsitek bisa terlibat didalamnya yaitu ; pertumbuhan penduduk, migrasi penduduk, mobilitas penduduk, spesialisasi kawasan dan iklim. Arsitek bisa berperan dalam melihat perkembangan ini sehingga arsitektur bisa menjadi media yang menjembatani semua bidang masyarakat dan mewadahinya. Arsitektur kemudian bisa memberikan perspektif atau cara pandang baru sebagai kendaraan dan solusi untuk mengakomodasi permintaan politik, budaya, sosial, dan ekonomi kota, sehingga arsitektur bisa meningkatkan produktifitas kota dengan arsitektur sebagai destinasi, menaikkan ruang publik-sosial terbuka, dan menurunkan efek pemekaran kota (urban sprawl) menjadi kota berkepadatan tinggi (high density).

Seperti kata Robert A.M.Stern, Memang banyak ruang kota yang terbuang, dan belum terolah. Kita tidak membutuhkan arsitek untuk menteorikan hal tersebut, tetapi menjawab pertanyaan “bagaimana menyediakan solusi hidup yang baik”, menjadi tanggung jawab utama seorang arsitek daripada hanya berlomba meninggalkan tanda atau jejaknya di ruang kota melalui sekedar bentuk. Tanggung jawab yang menjadi conditio sine qua non (syarat mutlak yg tidak bisa ditawar) sebagai sensitivitas dalam konteks urban. Dengan meningkatnya perbaikan wajah kota, maka diharapkan terwujudnya a beautiful city sebagai salah satu ciri kota yang berkelanjutan (sustainable city).

Paskalis Khrisno Ayodyantoro

Mahasiswa jurusan Arsitektur

Fakultas teknik

Universitas Bina Nusantara

2007

Daftar Pustaka :

• Ardian, Bagus. Teori Pertumbuhan Kota, http://www.p2kp.org/. 9/11/07 1:51

AM.

• Ardian, Bagus. Citra Lingkungan Perkotaan, http://www.p2kp.org/. 9/23/2007

6:34 PM

• Budihardjo, Eko. (1997) : tata ruang perkotaan, PT alumni, bandung

• Hedman, Richard & Jaszweski. (1984) : Fundamentals of urban design,

Planner Press. Washington DC

• Kamil, Ridwan. (2007) : Diskusi nasional : pembangunan kota yang parsipatif

dan berkelanjutan bagi kepentingan publik. IAI, jakarta

• Kamil, Ridwan. (2006) : menyelamatkan peradaban dengan desain, _ ,

Bandung.

• Koolhaas,Rem (1978) : Delirious New York, A Retroactive Manifesto for

Manhattan, Oxford University Press, New York.

• Kotler, phillip (1993) : Marketing Places: Attracting Investment, Industry, and

Tourism to Cities, States and Nations, Free Press, New York.

• Krier, leon. (1978) : Rational architecture : the reconstruction of the city.

• Kusumawijaya, Marco. (2006) : Kota rumah Kita, Borneo Publishing, Jakarta.

• Sutanudjaja, Elisa : Arsitektur dan Ekonomi Kota.

• Trancik, Roger. (1986) : finding lost space :theories of urban design. Van

Nostrand Reinhold. New York.

• Tschumi, bernard & Cheng, irene. (2003): The State of architecture at the

beginning og the 21st century. The Monacelli Press, Columbia

• http://www.e-architect.co.uk/singapore_architecture.htm : 10/10/07 08.12 AM

• http://www.ura.gov.sg/about/ura-conceptplan.htm : 10/10/07 09.16 AM

About the author