Kota Berbasis Bencana

3.JPG1.jpg

NIRWONO JOGA

Fenomena alam akan selalu menimbulkan permasalahan manakala kehidupan manusia terganggu atau jiwa mereka terancam.

Menginginkan Jakarta dan kota besar lainnya bebas banjir adalah keinginan wajar. Namun, penanganan banjir dan bencana lainnya sejatinya berhulu pada masalah kepemimpinan, visi, dan pemahaman pada skala prioritas.

Kota harus dirancang berbasis bencana, berdasarkan titik-titik rawan bencana, sesuai dengan apa yang dibutuhkan di lokasi rawan bencana.

Kota berbasis bencana mengembangkan ruang terbuka hijau (RTH) secara ekologis sebagai daerah tangkapan dan resapan air. Pemerintah daerah harus memperbanyak pembangunan RTH berupa taman lingkungan di perumahan, taman kota di pusat perkantoran dan perdagangan, lapangan rumput halaman sekolah, hutan mangrove di tepi pantai, lapangan olahraga di sekitar permukiman atau sekolah, dan mewajibkan seluruh rumah membuat sumur resapan air.

Dengan konsep ekodrainase kota, air hujan dan limbah air justru dialirkan dan diparkir ke daerah resapan seperti situ, waduk, danau, rawa, taman kota, lapangan olahraga, hutan kota dan mangrove untuk diserap ke tanah sebelum sisanya dialirkan ke sungai kemudian ke laut.

Pemerintah memfungsikan lagi jalur hijau bantaran kali, bantaran rel kereta api, kolong jembatan dan jalan layang, saluran tegangan tinggi dari permukiman liar kembali sebagai RTH dengan bijaksana, manusiawi, dan komprehensif.

Akibat keterbatasan lahan kota, sudah saatnya pemerintah mengalihkan masyarakat untuk (sukarela) tinggal di rumah susun, apartemen, atau kondominium, agar kota kita memiliki RTH sebagai daerah resapan air yang luas.

Taman evakuasi bencana

2.JPG1.jpg

Pemerintah harus memperbanyak pembangunan taman lingkungan di permukiman padat bangunan dan padat penduduk, terutama di kawasan perkampungan kumuh padat kumuh miskin (kupat kumis) yang sering kali paling dirugikan saat bencana melanda.

Pemerintah cukup membebaskan lahan warga seluas 500 meter persegi untuk taman evakuasi bencana, sumur resapan, dan menambah luasan daerah resapan air di perkampungan kupat kumis.

Pemerintah juga dapat merevitalisasi atau merefungsionalisasi taman lingkungan sebagai daerah resapan air. Taman lingkungan yang diperkeras seperti lapangan bulu tangkis, basket, pos siskamling, parkir kendaraan warga, harus ditanami rumput dan pohon, dan dilengkapi sumur resapan agar mempunyai daya serap air lebih besar, serta dikembangkan menjadi taman evakuasi bencana.

Model taman evakuasi bencana sebenarnya dilatarbelakangi pengembangan konsep taman bale kambang yang sudah lama dikenal masyarakat tradisional Jawa dan Bali. Konsep ini dikembangkan sesuai kebutuhan antisipasi bencana karena memiliki kelenturan dan kemudahan modifikasi sesuai kondisi dan bentuk lahan di setiap lokasi.

Taman memiliki dua bentuk dasar taman dan bale kambang (mengambang/melayang/menggantung). Bale merupakan bentuk tradisional yang biasa digunakan untuk tempat berkumpul, bersantai, atau bersosialisasi di teras rumah.

Rancangan taman memiliki nilai artistik, prinsip optimalisasi lahan, multifungsi, menciptakan keteduhan lingkungan, ruang gerak, dan berinteraksi sosial budaya.

Pengembangan taman evakuasi bencana mensyaratkan fungsi ekologis (sumur resapan air yang berdaya resap air tinggi, pohon penghasil oksigen), ekonomis (kebersihan dan kesehatan warga, berkebun), edukatif (ruang belajar alam dan kegiatan pendidikan lain—pengajian, kerajinan tangan), evakuasi (ruang penyelamatan bencana banjir, kebakaran, gempa bumi), konservasi energi (suplai energi surya, biogas), dan estetis (kebersihan, kesehatan, dan keindahan lingkungan).

Lantai dasar taman dibangun sumur resapan air tersusun dari koral, pasir, pecahan batu bata, ijuk, dan batu belah, seluas 75 persen dari luas taman. Sisanya, 25 persen, berupa tandon air untuk cadangan air bersih pada musim kemarau dan kebakaran.

Di atas sumur resapan air dan tandon air dibuat taman koral yang berfungsi sebagai taman terapi kesehatan bagi warga dan pasar dadakan, sesuai kesepakatan warga. Lantai dasar dilengkapi fasilitas pos siskamling dan kantor RT/RW.

1.JPG.jpg

Dengan standar kebutuhan ruang setiap orang 1 m>sup<2>res<>ressup<2>res<>res<, maka untuk ruang evakuasi setiap lantai dapat menampung pengungsi 300-400 orang per lantai atau total 600-800 orang dengan syarat pengungsi tidak membawa banyak barang.

Pada lantai satu seluas 400 m>sup<2>res<>res<, lantai dapat digunakan sebagai ruang evakuasi bencana dan di saat normal dapat difungsikan untuk kegiatan pengajian, musala, balai warga RT/RW, perkawinan, atau pentas seni. Lantai ini dilengkapi fasilitas dapur umum dan toilet bersama.

Pada lantai teratas berupa atap rumput seluas 250 m>sup<2>res<>res<>

Fasilitas dapur umum dan toilet bersama dilengkapi panel sel surya untuk menyuplai kebutuhan energi listrik taman dan dapat ditingkatkan kapasitasnya untuk rumah tangga, sangat bermanfaat pada saat bencana terjadi ketika aliran listrik mati total. Sebagian permukaan dinding bangunan taman dapat dipakai untuk layar pemutaran film cerita atau film penyuluhan warga.

Penyediaan tangga ramp melingkar mengelilingi bangunan taman dimaksudkan memudahkan proses evakuasi saat bencana, menjadi jogging track mengelilingi taman, dan berfungsi selasar untuk menampung berbagai kegiatan anak-anak. Sepanjang tangga ramp dan lantai atas dibatasi bak tanaman sayuran dan apotek hidup.

Taman dilengkapi tangki air minum, pompa hidran, toilet portabel, papan petunjuk, alat komunikasi, serta bungker sebagai gudang makanan dan obat-obatan. Dari 500 meter persegi, seratus meter persegi diisi penanaman pohon besar.

Bencana memang tidak bisa diperkirakan dengan tepat, tetapi upaya mitigasi bencana tetap perlu disiapkan untuk meminimalkan korban nyawa dan harta.

NIRWONO JOGA Arsitek Lanskap

Desain : Yori Antar, Rafael Arsono, Paskalis Khrisno Ayodyantoro

About the author