[1]
Sore menjelang, sebuah tulisan tentang “ndeso”di forum ami menyentak saya. Sebuah pemahamanbaru yang benar-benar menggelitik hati saya.Indonesia, sudah miskin sombong lagi.. sedih, karena tulisan ini turut men-judge saya sebagai warga negara ini. Kalau kita simak berita stasiuntv ada saja kejadian kejadian yang unik, memperlihatkan bagaimana bangsa Indonesia kini hidup. Ditengah sebuah krisis ekonomi yang hampir di alami banyak orang masih saja banyak tingkah laku kita yang tersorot media bahkan internasional yang membuat kita benar-benar malu.
Pertikaian masyarakat dan mahasiswa di Makasar, tertangkap tangannya dugaan suap
jaksa penanganan BLBI, kematian ibu dan anak karena kurang gizi dan ketidakmampuan mereka dalam membeli makanan adalah salah satu bahan yang sedang menjadi sorotan publik, belum lagi tentang terbakarnya pesawat di papua disaat kita sedang berusaha mendapatkan citra untuk dapat ijin terbang di Eropa serta beberapa masalah tentang keselamatan bangunan kita.
Sebagai pengendara motor di Jakarta setiap harinya saya dapat melihat bagaimana saya dapat menikmati carut marutnya kota kita. Ditengah kepadatan dan bertambahnya kemacetan Jakarta, saya mulai terbiasa melihat motor-motor berjatuhan karena lubang di jalan-jalan kota besar jakarta yang beberapa waktu lalu tergenang banjir. Entah karena perencanaan jalan yang hanya menambal sulam tanpa melihat kemiringan untuk drainage atau memang perencanaan tata air kita yang buruk hingga meluap ketika hujan. Rasa marah, caci maki, dan keributan di jalan pun sudah menjadi kebiasaan yang mewujud mejadi kelumrahan. Hingga sebuah penangkapan dan pengeroyokan copet dan maling bahkan pembakaran properti dan kekerasan beberapa pihak atas nama keadilan atau kelompok menjadi sesuatu yang lumrah.
wuaahhhhhhh memang benar apa yang dikatakan oleh Gustaff hariman dalam sebuah pertemuan dengan Pemda bandung beberapa waktu lalu. “Kita berdiri tanpa negara..” karena
terkadang kita berdiri sendiri, melakukan kegiatan sendiri dan turunnya kepercayaan kita terhadap pemerintah.
[2]
Sebuah Sayembara Taman baru saja dilakukan, Sebuah Taman Ayodia, Taman yang memiliki kolam ditengah kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sayembara ini dilaksanakan setelah penggusuran pengusaha ikan hias dan pengusaha bunga disekitar taman ini dilakukan. Sebuah kebijakan yang hingga kini pun kami belum mengerti alasan jelas dibaliknya. Sebuah penggusuran nilai kawasan yang telah melekat, memindahkan para pedagang ini ke sebuah tempat baru yang mungkin jauh dari tempat biasanya yang dikenal pedagang, pembeli bahkan oleh kawasan ini sebagai identitas kota bertahun-tahun. Taman yang harusnya bisa memberi kemakmuran bagi lingkungannya sesuai dengan namanya ayodia dari legenda jawa kini hanyalah nama.
Taman ini bahkan pernah hinggap menjadi sebuah taman yang masuk ke dalam studi perencanaan oleh tim arsitek andramatin, 2005 untuk pameran Bienalle dan sempat hinggap ke perhatian pemerintah daerah, dimana nilai kolam resapan dapat dijadikan objek wisata menarik, dan para pedagang dipindahkan kebawah sehingga tidak menggangu aktifitas lalu lintas disekitarnya. Pohon pohon dikawasan ini pun dipertahankan guna tetap menjadi media peresap air. Lagi lagi, saat itu hanya jadi data..
Pertengahan Febuari 2008, Banjir Melanda hampir seluruh Jakarta karena tingginya curah hujan. Pemerintah kota Jakarta yang belum segenap setahun merayakan kenaikannya Fauzi Bowo sebagai gubernur Jakarta menjadi kalang kabut, karena terhambatnya rombongan presiden di Jalan Thamrin Jakarta ketika akan kembali ke Istana Kepresidenan karena Banjir. Gubernur dan jajaran di ingatkan presiden. Miris.. Orang paling nomer satu di Indonesia merasakan dampak banjir itu secara langsung dan tersorot media Internasional, sementara kita tertawa mensyukuri presiden dengan berita tersebut. Apakah kita senang dan sadar bahwa kita sedang mentertawakan kebodohan kita? Pemerintah kota kemudian mengambil kebijakan dengan adanya keinginan untuk meningkatkan ruang hijau kota sebagai media serapan air belum ditambah dengan mempercepat pembangunan kanal banjir Jakarta.
Keputusan menggusur kemudian dilaksanakan untuk dalih mengembalikan nilai taman resapan ke fungsi seharusnya. Pedagang ikan dan bunga dipindahkan untuk menambah luasan dan keindahan taman tersebut. Sebuah Sayembara desain kemudian dilaksanakan untuk mempercantik taman, atau mungkin bisa saya sebut legitimasi dan dukungan arsitek terhadap perencanaan taman ini.
Sayangnya dari ketidakjelasan tentang sayembara yang sempat mundur tetap dilaksanakan dan di ikuti oleh sekian arsitek yang berusaha memberikan nilai lebih dan positif taman berdampak pada dukungan arsitek kita terhadap pemotongan 2 pohon beringin besar yang ada ditaman. Apakah kita jeli, berapa banyak dari sekian arsitek merasakan bahwa dalam gambar tapak yang diberikan dalam tor (term of reference) sayembara sudah tidak lagi menempatkan titik pohon secara tepat? apakah ada dari sekian arsitek berusaha mengembalikan pohon tersebut? bahkan sebelum sayembara ternyata salah satu pohon telah tertebang. Apa yang dimaksud pemerintah dalam mengembalikan nilai kawasan resapan dengan memotong salah satu peresap airnya? dan tentunya pemenang sayembara mungkin tidak menempatkan pohon tersebut dalam desainnya.
terlepas dari kejadian ini, tentang adanya maksud sebuah sayembara sebaiknya harus kita prediksi untuk menentukan arah penyampaian pesan yang ingin kita masukkan ke dalam desain kita. Dengan adanya sensitivitas maksud dibalik sebuah sayembara, semoga kita bisa memberikan masukan yang selaras dengan maksud sayembara tersebut. Semoga dalam sayembara mendatang, arsitek berperan dan lebih jeli dalam melihat dan merasakan ruang tapak sebelum merancang sehingga bisa memberikan kontribusi yang lebih pada lingkungan kawasan sayembara secara langsung. Sayapun pernah gagal karena tidak hadir anzweizing dan merasakan ruang yang disayembarakan, saya terlalu sombong untuk tahu segalanya ketika merancang, semoga dikemudian hari sensitifitas maksud dan sensitifitas tapak sayembara bisa saya pelajari dan menghasilkan arsitektur untuk kota kita yang lebih baik.(Paskalis Khrisno Ayodyantoro)