mengkritisi sang robber barons : menuju arsitektur kampung kota

Tulisan ini adalah refleksi kegiatan research kantor Han Awal Partners & Architects pada libur lebaran 2008, kami sadar bahwa entry sayembara rumah susun ini dibuat lebih pada cara bagaimana menyikapi penyelesaian permukiman kumuh secara avant garde, lewat ekonomi dan sosial, Bahkan Han Awal sendiri mengatakan, untuk selalu yakin dan terus maju bila visi dan misi yang kita bawa memiliki dampak yang positif bagi khalayak banyak, dan kami sendiri juga yakin, walaupun kami tidak akan menang, tetapi setidaknya memberikan satu ide segar, yang cepat atau lambat akan menjadi sumbangsih bagi arsitektur di negeri kita. semoga…

[1]
Berpeluh peluh keringat menemani, manusia berbaur mengaduk dan mencari, gumpalan basah, coklat, berbau dan kotor demi sebuah barang yang masih memiliki nilai ekonomis bagi beberapa orang disini. Di tempat lain seorang ibu baru saja mencemplungkan dirinya dalam satu sungai yang tak megalir airnya, kubangan coklat hitam hampir pekat ayal tak menjadi sebuah penghambat ibu ini dalam menggapai sebuah botol aqua bekas. Dari sini, orang orang hilir mudik mengambil, membersikan sesaat, sempat memaki ketika daerahnya diambil oleh orang lain. Mudik lalu lalang berlanjut ke satu tempat yang hampir 3 kilometer jauhnya, orang orang ini naik segala macam, bersepeda, menarik gerobak, atau berjalan kaki menjadi pilihannya.

Mereka kembali kerumah, masing masing rumah yang terdiri dari sepetak 5 meter persegi. Tertutup bambu dan kardus reyot. Mereka berkumpul dalam satu kumpulan besar, membersihkan dan mencuci dengan air seadanya, ketika selesai mereka langsung menuju ke tempat pengumpulan yang berada di ujung kumpulan rumah mereka untuk menukarkannya dengan sejumlah uang yang tak telalu banyak. Ya, mungkin hanya 3000 rupiah untuk sekilo gelas aqua kosong. Pasrah dengan pendapatan mereka, kemudian mereka kembali ke gubuk mereka masing masing, kemudian berkumpul bersama sesama pemulung dan memasak bersama.

Disatu sudut, seorang ibu meneteki anaknya yang masih ingusan, di lain tempat sejumlah ibu sedang menanak nasi dan menggoreng tempe sebagai pauk ala kadar, tempat lain, masih ada yang menggantungkan baju hari ini untuk dipakai esok. Ruang ruang yang besebelahan dengan barang dagangan mereka, tampak terjejer rapi di depan gubuk kecilnya karena belum mencapai jumlah atau berapat minimal. Di sebuah tempat agak menjorok ke kali, sebuah MCK tampak berdiri melayani antrian bagi mereka yang akan buang hajat atau sekedar membasuh diri setelah bergulat seharian bersama sampah sampah.

Bangunan brutal, mall taman anggrek diseberangnya tampak menjadi satu ironi bahkan sarkasme dalam vista keseharian mereka. Sebuah pemandangan yang terkadang mimpi, sebuah tempat dimana terkadang mereka diacuh bahkan diusir oleh tatap curiga oleh satpam bahkan pengunjung karena style-nya tidak up-to-date ketika di dalam mall. Lain mall, lain konsep mixed used, lain konsep megahnya apartemen sekarang, pengembang akhirnya berorientasi pada keuntungan semata tanpa melihat dampaknya terhadap lingkungan sekitar. Menarik keuntungan dari modal yang seminim mungkin, baik lahan yang murah, pemangkasan pembangunan fasilitas umum dan sosial yang tidak pada tempatnya untuk menekan biaya produksi, pemangkasan biaya konstruksi, dan trik lainnya semata untuk mengembalikan nilai ekonomi yang tinggi. Pengembang pengembang yang serakah dan haus lahan ini kemudian disebut Derek Walker dalam bukunya new towns (1994)sebagai robber barons.

Ironisnya berkat mall dan bangunan mega lainnya ini mereka bisa menikmati cahaya benderang, menikmati kota kecilnya dalam nyala pancaran lampu lampu megah hiperbolis untuk iklan iklan atau penerangan billboard mereka. Dalam keterbatasan, keguyuban adalah kekuatan mereka yang sangat hebat.

Namun sampai kapankah mereka bertahan didaerah ini, tak terakui oleh pemerintah, maupun masyarakat sekelilingnya yang terkadang menutup mata dan hidung ketika melewati daerah ini.

Menunggu terampasnya ruang negatif bagi sang robber barons yang bernilai tinggi…

[2]
Masalah jakarta dan kota kota lainnya di indonesia, dipaparkan oleh Ridwan Kamil dalam satu makalah “merebut ruang yang hilang” adalah tentang kurang siapnya penduduk berkota (being urban) dengan ciri densitas, heterogenitas, anonimitas dan intensitas sosial. Walaupun terjadi efek urbanisme setiap tahunnya, dengan berpindahnya penduduk rural ke kota, namun budaya berkampung pada umumnya adalah salah satu ciri yang paling menarik dari bangsa kita. Keseluruhan warga kota kita tidak bisa dipaksakan menjadi warga yang anonim, sebagian besar penduduk dengan anonimitas justru membuat kota kita kehilangan kekhasan, menjadi tak beradab, identitas yang lama-lama mengkerak dan menjadikan kita sama dengan negara kota kotak kaca lainnya. Tak heran budaya privat ini justru menghantar pada gated community dan dinding pemisah kelas sosial di kota kita sebagai hasil arsitektur dari rasa takut bersinggungan dengan kelas lain.

Kota sebagai perayaan atas manusia, ekonomi, sosial dan kebudayaan, justru seharusnya menampung keragaman ini dalam ruang ruang netral yang bisa mewadahinya.

Dalam pelaksanaannya, masalah ini menjadi sangat rumit, karena berhubungan dengan banyak aspek, dan arsitektur hanyalah dari sekian banyak aspek tersebut seperti sosial, ekonomi, antropologi, dan lain sebagainya. Perkampungan kumuh malah justru menunjukkan realitas tentang karakter asli bangsa ini dalam vitalitas, keguyuban, kebersamaan, dan keragaman. Sebuah gemeinschaff, komunitas yang guyub dan penuh keakraban.

Bahkan Yori Antar berucap, ruang ruang hasil kreatifitas masyarakat asli ini, kini kemudian berubah menjadi kota modern sebuah hasil yang sangat dingin, dan kaku.

Tetapi sayang, perkampungan kumuh hanya menjadi masalah negatif dalam kota kota kita, momok yang najis dan harus segera di musnahkan demi operasi plastik wajah kota kita. Maka tak heran menurut Eko Budihardjo, dalih program urban renewal kebanyakan menjadi urban removal.

[3]
Masalah rumah susun kini berkembang pelik dengan terkurasnya lahan kita yang tidak terkontrol dengan baik oleh pemerintah. Pemerintah sekarang seperti kehilangan tempat sebagai pemilik negara, tidak berkuasa pada tanah nya sendiri karena telah termiliki oleh robber barrons negeri ini bahkan dari negeri lain. Kebijakan ini akhirnya berdampak pada kesulitan dalam membuat rencana kota yang ideal bagi jakarta pada contohnya.

Ditambah dengan pengembangan dan perijinan yang telah disediakan bagi sang robber barons ini telah menciptakan bangunan bangunan megabesar yang tidak berdampaknya penyelesaian masalah ruang kumuh di kota kita dan malah menambah rentetan masalah kota kita seperti sosial, budaya, banjir, dan minimnya ruang publik perkotaan bahkan trafficjam headache justru bertambah parah karena tidak adanya penyelesaian masalah secara holistik.

Pemerintah harus membebaskan tanah yang dimiliki sedemikian mahal, dan biaya yang dimiliki pemerintah dalam membagun 1000 rumah susun untuk Jakarta ternyata tidak sebesar itu, belum lagi banyaknya masalah pada Perda pemerintah saat ini yang justru meningkatkan biaya administrasi seperti perijinan, seperti dilansirkan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI), Lukman Purnomosidi dan Anggota Komisi V DPR, Enggartiasto Lukito di Jakarta, (suara pembaharuan: 10.2007)

Keyakinan bahwa masalah ini adalah tanggung jawab pemerintah, harus berpindah pada bagaimana kita bersama, dan direkani arsitek dapat memberikan solusi holistik secara ekonomi perkotaan dan sosial budaya terhadap ruang pemukiman atau rumah susun model baru. Sebuah harga yang mahal dalam memperkenalkan kehidupan baru dibanding menerima tawaran robber barons yang terlalu sering membangun demi keuntungan semata.

[4]
Perkembangan kota yang menyebar (urban sprawl) dan bertambah luas, seharusnya mulai dipadatkan menjadi suatu solusi vertikal. Bisa jadi sebuah solusi “garden cities of tomorrow” nya Sir Ebenezer Howard tentang pengembangan kota yang berpusat pada ekonomi dan sosial dengan prinsip kota yang mewadahi keragaman yang harmonis antara sosial, budaya, dll(balanced city) dan kota yang mandiri dengan segala fasilitasnya termasuk fasum dan fasos(self contained city) dijadikan dalam satu infill development dalam ruang kota, hunian program mixed used yang dapat merangkum ekonomi perkotaan dengan wawasan sosial.

Walaupun asing dan tidak sejalan dengan morfologi bentuk di kamus sang robber barons yang sudah ada sebelumnya, program ini justru sebagai jawaban atas efesiensi ruang perkotaan yang semakin langka.

Masalah permukiman untuk kalangan menengah bawah ini kemudian berusaha diwadahi dalam bentuk rumah susun yang tepat. Bentuk yang lebih terbuka, memungkinkan keragaman terbentuk didalamnya selayaknya ruang ruang kampung kita. Sebuah sajian penyelesaian ruang tinggal manusia dengan ekonomi bawah hingga menengah berpadu dalam infill kota.

Rumah susun bisa disimulasikan menjadi satu kampung utuh dengan perangkat desa atau kota dalam tiap bagian. Sebuah rumah susun berkemungkinan memiliki rukun tetangga dan rukun warga sehingga kegiatan administratif tetap berjalan, ruang-ruang publik bertebaran, bersamaan dengan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang dibutuhkan mereka. Ruang ini tidak lagi ditempatkan pada dasar atau atap bangunan, namun dapat tersebar dalam skala vertikal, secara sporadis tergantung kebutuhan administratif standar kita.

Ruang ruang hunian dibuat secara sederhana dengan mengeluarkan utilitas dan kamar mandi, selain memangkas biaya ekonomi baik biaya konstruksi dan kemudahan perawatan, ruang ruang bersama justru memungkinkan terjadinya pertemuan sosial para warga ini. Bentuk ruang hunian dibuat beragam mungkin dan dibatasi oleh tembok pemisah antar unit, sedangkan fasade dan isi rumah ini, bisa dikontrol dan dikembangkan sesuai kemampuan ekonomi mereka.

Rumah susun juga sebaiknya ditempatkan di tengah atau pinggir kota dimana terdapat akses transportasi yang baik terhadap tempat bekerjanya, memiliki linkage antar program, bangunan lain maupun dengan kota tempat bangunan ini berdiri, menjadi rumah besar yang menampung komunitas dalam keragaman latar belakang. Tidak lupa dengan memanfaaatkan iklim, sebuah rumah susun dapat mengadaptasi iklim kota kita sehingga menjadi bangunan yang dapat berdiri dan hidup secara ekonomis dan berkelanjutan. Ia bukan menjadi kopian dari sekedar betuk apartemen barat yang menjanjikan hidup yang lebih baik.

Membagun rumah susun tidak semena membangun ruang tinggal dan tidur semata, ia harusnya bisa menjadi ruang hidup, bukan menjadi sekedar asrama para pemulung, pekerja kelas bawah, atau buruh semata melainkan ruang nyaman dan aman tempat mereka dapat mempercayakan anak anak lahir dan tumbuh bersosialisasi berkembang bersama dengan lingkungannya.

Paling tidak seperti dalam segitiga rantai makanan, orang orang ini mengambil peran bawah yang mendukung aktifitas rantai kegiatan diatasnya, tanpa mereka, tak mungkin ada tukang gorengan, tukang ojek, tukang sayur, tukang rokok, tukang mie keliling, tanpa mereka tak mungkin gedung kita terbangun…

Bersama sama berbagi antara miskin dan kaya dalam ruang kota yang semakin memadat.

oleh : Paskalis Khrisno Ayodyantoro

tim desain : Han Awal, Yori Antar, Margareta Amelia Miranti, Adria Ricardo, Varani Kosasih, Paskalis Khrisno Ayodyantoro, Monica Renata, Reginald Agussalim, dan Noviardy Prasetya

About the author