Juni 2009
kita semakin menyadari dalam ketradisian arsitektur seperti marx berbicara, tradisi dari generasi yang telah mati, memberat bagaikan mimpi buruk di atas otak mereka yang hidup.
ada hal yang sudah hilang, jalan atau proses yang menentukan bagaimana arsitektur berdiri telah perlahan hilang dengan keilmuan yang teruji waktu, menetap di pendidikan kita dan kemudian menjadi hanya sebuah hadiah, sebuah ilmu cepat saji untuk kita ber arsitektur. hari ini adalah hari dimana kita ber euforia terhadap arsitektur masa lalu, terhadap pemberian yang sayangnya belum teruji oleh kita sendiri. Kita menjadi takut untuk merubah tradisi karena ketatanan sosial kita meng haramkan cara tersebut, untuk selalu menghormati yang telah mati, dan disalah kaprahkan untuk menelan tradisi hasil warisan yang suci.
ketika pedoman arsitektur menjadi alkitab, ketika teori menjadi sebuah ayat suci, dan ketika seorang starchitects menjadi nabi nabi, dan disatu sisi setiap arsitek berusaha mencari keseragaman dalam arsitektur mencari keindonesiaan yang satu. mengapa menguniversialis?
kesedihan mendasar saya adalah ketika kebenaran adalah konsensus, dari ketiadaan menuju propaganda, dan menjadi keputusan bersama. Bahkan kebohongan yang diulang secara masif berakhir menjadi kebenaran. kita tak beda halnya dengan goebbles, memprogandakan hal yang mengerdilkan otak kita terhadap keragaman.
dalam kesemarakan dan kehiruk pikuk yang memekakkan telinga, arsitektur berdiri dengan wajah wajahnya yang palsu, ia berdiri berusaha memendam aktor dan sasaran dibaliknya.
arsitektur harus lah tak getar dan dia tak gentar. jaman berubah. ruang harus terus berevolusi dengan manusianya.
Paskalis Khrisno Ayodyantoro
untuk jongArsitek! 2.2