(1)
Riuh!
tepuk tangan membahana, setiap orang tertegun sesaat dan bersorak ketika bangunan museum fatahillah, Jakarta tampak bergetar seperti terkena gempa dan runtuh menjadi bongkahan kubus kubus kecil.
Wooo hoooooo!!!! Keren!!!
Pengunjung saat itu bersahutan tetap tak melepas pandangannya ke tampak depan Museum fatahillah.
Saat itu plaza Museum Fatahillah sesak oleh penduduk, manusia manusia yang datang untuk melihat pertunjukkan proyeksi ke bangunan di area kota tua jakarta. Setiap orang mencari tempatnya, berusaha mencari kebebasan pandangan visual, baik itu duduk, berdiri, berjongkok untuk mendapatkan momen terbaiknya.
Benar saja, sejak diputar seluruh pengunjung terdiam, beberapa menit dengan cermat melihat proyeksi, yang berisikan video dan permainan cahaya di tampak bangunan fatahillah. Mendadak, para pengunjung bersorak ketika bangunan itu terlihat rubuh berkeping keping, yang kemudian berlanjut ke video sejarah kota Jakarta.
Menyenangkan rasanya merasakan ruang publik jakarta bersamaan dengan warga lainnya dalam suasana kreatif.
Seluruh areal kota tua yang dahulunya masih dilalui oleh kendaraan bermotor, sekarang di dedikasikan fungsinya untuk pejalan kaki, sehingga kawasan ini otomatis menjadi ruang publik yang bisa di akses oleh banyak pihak. Warga Jakarta kini bebas menikmati plaza, pedestrian, dan hubungan ruang bangunan bangunan sejarah tanpa takut bersinggungan dengan kendaraan bermotor yang semakin mendominasi kota kita.
Keputusan pemerintah kota Jakarta untuk mempertahankan arsitektur di kota tua serta menciptakan ruang publik yang kreatif disekitarnya memberikan sumbangsih ruang bagi siapa saja untuk belajar memahami sejarah kota Jakarta yang lebih menyenangkan, dan menjadikan pelajaran berharga untuk mendekatkan warga Jakarta dengan kotanya.
(2)
Warga senior yang mengalami sejarah, tahu bahwa sesuatu yang didirikan diatas sebuah tempat tidak hanya sebatas volume dalam ruang, tetapi juga sebagai tanda dalam waktu. Bentuk yang menjadi sejarah karena berdiri dalam runutan waktu yang serta mengubah gambaran dirinya dari pengamatnya seiring jaman yang berganti.
Setiap jaman pasti berkembang, disini arsitekur sebagai produk budaya sebaiknya menelurkan kesuaian terhadap waktu yang didasarkan pada budaya yang melekat di tiap tempat.
Dengan memberikan tempat pada bangunan bersejarah ini berdiri, ia mencerminkan kisah, hidup, budaya, dan peradaban pada jamannya sehingga memberikan ruang kekinian untuk berinteraksi, bersinggungan dan menghayati masa lampau untuk melanjutkan peradaban yang lebih baik.
Solo sebagai kota budaya menjadikan satu tempat dengan identitas yang melekat kuat, sebagai tanah Kasunan dan Mangkunegaraan yang menjadikannya sebagai ciri khas dan budaya yang tidak mungkin kita temukan di daerah lain di dunia.
Pada masa tertentu ternyata Solo pernah kehilangan dua gedung kuno di kompleks Bale Agung Kraton Solo, bahkan beberapa bangunan bersejarah mulai menghilang karena tidak terawat dengan baik. Dengan adanya pembongkaran bangunan-bangunan ini, maka hilanglah identitas tempat itu.
Bangunan Kantor Bank Indonesia cabang Solo, dalam sejarahnya merupakan bekas bangunan De Javasche Bank, sebuah bank sirkulasi untuk Hindia Belanda.
?Pertama kali De Javasche Bank dibangun di Batavia (sekarang Jakarta). Selanjutnya, De Javasche Bank mulai membuka kantor cabang di luar Batavia. Presiden De Javasche Bank , CFW Wiggers van Kerchem, lalu menyatakan pendirian Kantor Cabang Solo, melalui prosedur rapat umum pemegang saham luar biasa, dengan Surat Keputusan No 15 tanggal 23 Oktober 1867, maka disetujuilah pendirian Kantor Cabang Solo dan diresmikan pada 25 November 1867. (http://kabutinstitut.blogspot.com/2008/08/konservasi-kantor-bi-solo.html)??Dijelaskan juga bahwa perkembangannya menurut sejarahwan lokal, konsep bangunan Belanda ini tidak cocok dengan konsep tradisional setempat. Konsep Urban Eropa bangunan tersebut dianggap tidak cocok dengan konsep kosmologi dalam tata ruang ibukota kerajaan Jawa (Kuthorojo). Konsep Urban yang menunjukkan perkembangan heterogenitas sejarah Kota Solo ini masih bisa kita lihat konfliknya hingga sekarang antara lain Gedung De Javasche Bank dengan Bandha Lumakso, Masjid Agung dengan Gereja Gereformeerde, dan Benteng Vastenburg dengan Keraton Kasunanan.
(3)
”Bagaimanapun, sentimental budaya kolonial (bangunan atau seni) harus dihilangkan. Sebab, produk dari masa lalu bukan saja memori sejarah, melainkan untuk dijadikan pertimbangan bagi keunikan kota.” Ungkap Heri Priyatnoko dari Kabut Institut, mempertajam tentang perlunya konservasi bangunan KBI Solo.
Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya tetap terpelihara dengan baik (The Burra Charter for the Conservation of Place of Cultural Significance, 1981). Di dalam proses pengelolaan bangunan bersejarah, dan penyelipan program baru dikawasan bersejarah, perlu diperhatikan untuk tetap menghargai lingkungan budaya sekitar dengan baik.
“bagi saya arsitektur yang baik adalah arsitektur yang sesederhana, seringkas mungkin dan sejelas mungkin, … pada dewasa ini seolah olah terjadi perlombaan bentuk yang serba aneh, agar lain daripada yang lain” menurut F. Silaban dalam satu tulisan di Konggres Nasional ke II, IAI.
Bangunan bangunan sekarang menurutnya, terkesan dicari cari bentuknya agar terlihat monumental, ada kecenderungan untuk membuat lebih genit agar terlihat berbeda. Padahal dalam satu konsep perkotaan menurut Kevin lynch dalam bukunya image of the city, tidak bisa seluruh bangunan menjadi kontras dan menjadi penanda, karena bila masing masing bangunan melakukan hal ini akan menjadikan kota tidak beraturan dan menjadi chaos, karena tidak ada keharmonisan yang terjadi dalam gambaran makro kota yang lebih besar.
Dalam usaha konservasi Kantor Bank Indonesia cabang Solo, fungsi terkait yang rentan merusak bangunan lama, di relokasi dengan gentrifikasi (urban infill) demi peningkatan vitalitas suatu kawasan kota tanpa menimbulkan perubahan yang berarti dari struktur fisik kawasan tersebut tanpa membuatnya seolah olah harus berbeda.
(4)
Dalam konservasi Kantor Bank Indonesia cabang Solo, sense of place, keharmonisan dengan lingkungan, dan pengalaman ruang kota yang baik justru menjadi tolok ukur desain yang berhasil menurut kami. Ketakutan-ketakutan psikis atas sejarah kekerasan seperti peristiwa mei 1998, menghasilkan pagar pagar yang memutuskan interaksi bangunan dengan kota, sehingga perlu di tata kembali sehingga kota termasuk arsitektur dapat dinikmati kembali oleh warganya, sebuah cara untuk memanusiakan kota lewat desain sederhana menghilangkan pagar, memberikan ruang publik yang nyaman termasuk dengan ruang hijaunya.
Masalah utama arsitektur yang berdampingan dengan bangunan bersejarah, adalah bagaimana bersikap, bukan bertumpu pada permainan bentuk secara visual yang rumit dan genit untuk mencapai kemonumentalan, namun bagaimana menyelesaikan keberlanjutan tekstur urban dalam kebersamaan ruang yang berdampingan. Bangunan baru ini nanti diharapkan didirikan bukan hanya karena menerapkan bentuk yang terjadi di luar negeri sana, bukan pula hanya menerapkan bentuk dari arsitektur yang lampau, tetapi justru bagaimana berinteraksi dengan program ruang, lingkungan, dan budaya yang ada. Tiap jaman seharusnya menciptakan budaya dan bentuknya sendiri, sesuai dengan kecenderungan budaya masyarakat saat itu dan prediksi kedepannya.
Inilah tantangan tersulit dalam sayembara ini. Memecahkan arsitektur secara modern, tanpa melupakan karakter lokal dan lingkungan dengan tetangganya. Dalam skala yang cukup besar otomatis menjadikan bangunan ini sorotan publik dan monumental dalam ruang kota Solo saat ini. Namun untuk menciptakan sikap, dan bahasa penampilan, bangunan baru ini di harapkan tidak mengecilkan. Mengerdilkan bahkan mendominasi bangunan konservasi di sampingnya, sehingga pilihan desain dengan dominasi kaca berbentuk sederhana namun elegan, kemudian dipilih sebagai latar dari bangunan konservasi di sebelahnya. Panas dan cahaya matahari ekuator yang masif kemudian di tanggulangi dengan sirip sirip vertikal dan penggunaan double glazing.
“Here I am!” Yang merujuk pada bangunan eks De Javasche Bank ini menurut Han Awal, Project Leader dalam perancangan sayembara ini harus disikapi dengan “Yes, I know”, oleh bangunan baru disebelahnya dengan lebih bijak.
Cara menyatukan keharmonisan bangunan yang kontras ini dipilih dengan menggunakan pola lansekap yang sama, penggunaan material yang dapat meresapkan (permeable) air seperti grass blok di kedua tapak, menghubungkan dua site yang terpisah sebagai pedestrian. serta penggunaan garis garis horizontal yang seirama di tampak bangunan.
Untuk menciptakan suasana pedestrian dan detail yang lebih manusiawi, jalan yang memisahkan dua site terpisah ini diganti materialnya dengan paving sehingga secara psikis, kendaraan bermotor yang melewati jalan ini akan melambatkan kendaraannya.
Bangunan yang mengelilingi bangunan bersejarah ini, kemudian dirubah fungsinya menjadi area hijau dan ruang publik yang tertata rapi, serta sebagai tempat penjaja jagung bakar yang sudah menjadi identitas jalan ini, yang ditempatkan secara teratur, di area belakang bangunan tua. Dengan pendekatan ini, identitas komunitas yang telah ada tidak serta merta hilang, namun memperkuat dan mendukung kehidupan kota yang riuh berdampingan dengan bangunan yang ada.
Salah satu usaha memisahkan ruang publik dan fungsi bangunan sebagai bangunan Bank, adalah dengan dibuatnya satu bangunan transisi sebagai area masuk ke bangunan utama, yang pada filosofinya hampir sama dengan bangunan tradisional setempat, yaitu pendopo. Bangunan Pendopo ini di buat dengan material kaca modern, yang menyaratkan sisi modernitas sekaligus menjaga agar visual pandangan warga dari jalan raya dari arah Kantor Pos tidak terhalangi untuk menikmati bangunan eks De Javasche Bank.
Pada akhirnya untuk melengkapi seluruh konsep urban bangunan Kantor Bank Indonesia baru ini, pohon beringin besar yang ada di lokasi tetap dipertahankan karena kota solo sendiri memiliki ikatan batin dengan jenis pohon ini, dan tidak lupa ditambahkan satu pohon beringin baru di bangunan lama, untuk mengimbangi kedudukan jalan antara kedua site ini yang memperkuat poros sejarah Keraton Kesultanan dengan Benteng Vastenburg serta mewujudkan Kota Solo sebagai City Of Trees.
Sebelumnya, Kota tua Jakarta sempat menjadi daerah kumuh yang terbengkalai, namun dengan sentuhan dan kolaborasi berbagai pihak, kini kota tua Jakarta menjadi salah satu contoh menciptakan ruang publik kreatif dengan muatan sejarah tinggi yang cukup berhasil di kota kita. Solo pun pasti bisa!
“Apa salahnya dengan diam?” begitu kandas Han Awal memimpin seluruh proses sayembara ini untuk Gedung Kantor Bank Indonesia Solo yang baru.
Demi generasi kita, penerus kita, setidaknya anak cucu kita, Mari hargai bangunan bersejarah kita, menghargai jerih payah pendahulu kita sebagai landasan untuk maju, mewujudkan pembangunan Harmony by Contrast, bersama menciptakan peradaban yang lebih baik.
Paskalis Khrisno Ayodyantoro untuk HAP dipublikasikan di jongArsitek! 3.2
Peringkat 1, Sayembara desain Kantor Bank Indonesia Solo,
tim desain : Han Awal, Djuaini, Dona Paramita, Mira Agusnani, Monica Renata, Paskalis Khrisno Ayodyantoro, Varani Kosasih