Pintu (di luar fungsi fisiknya) merupakan sekumpulan simbol yang secara lazim membahasakan kepada masyarakat berpintu (dan berjendela) tentang perubahan, memberitakan arah, mengawal yang tak boleh dijamah. Namun di tengah masyarakat berpintu yang tak lagi tenang meninggalkan gerak di antara arah yang tak lagi terberitakan atau kepemilikan yang tak jelas keterjamahannya, apakah fungsi simbolik sebuah pintu masih dibutuhkan? Atau apakah, fisiknya pun sudah dapat dianggap kemubadziran?
Mengapa pintu begitu penting dalam kehidupan berbudaya manusia? Pintu yang kemunculannya tak tertera dalam sejarah, dapat dibayangkan bermula ketika manusia memilih untuk menetap demi membahasakan privasi dan pemisahan yang dapat dilalui (apapun wujud fisiknya). Sejak itu, lambat laun pintu berevolusi seiring kebutuhan, hingga keberadaannya menjadi kelaziman yang banal.
Banalnya keberadaan pintu mendikte manusia untuk memiliki pintu dalam kehidupan keseharian mereka. Hal yang wajar, ketika pintu mampu berfungsi (baik secara fisik maupun non-fisik) mendukung keberlanjutan pola hidup privat di antara yang komunal dalam kandang domestifikasi kota-kota manusia. Namun, ketika pola hidup berbudaya bergeser menjadi makin privat (atau makin teralienasi karena kebutuhan dapat terpenuhi tanpa interaksi), makin tersegregasi (karena gesekan antar privasi makin tajam karena bertambahnya kuantitas namun mengecilnya lingkup sosial), serta kecenderungan pola hidup yang kembali nomaden, makna dan fungsi fisik sebilah pintu kemudian meredup.
—————————–
Parasit
Tanpa pintu, pelingkup privasi manusia akan dikembalikan pada alam (yang bumi maupun yang terkontaminasi manusia). Ruang hidup kembali memeluk topografi dan guratan-guratan yang tertera sebelum manusia memutuskan untuk menetap. Yang lampau menjadi indung yang dilingkupi, diisi, dilengkapi. Gerak pada ruang yang tak mampu ditawar untuk tetap planar, membentuk dinamisme baru pemisah yang privat. Kesendirian dicapai melalui pembatasan gerak tubuh yang dipaksa merangkak, melongok, memanjat, menyusur. Solusi menjadi sekedar perangkum yang tersisa.
Lalu, kami menunggu yang banal terjadi kembali.
—
Rumah-rumah Tanpa Pintu (Dia Lo Gue, Kemang – Juli 2011)
Kotakotak
kotakotak project
Kotakotak merupakan wadah kolektif kolaboratif yang berupaya mengolah rupa, gerak, suara, menjadi suatu bentuk inovasi media yang memadukan rangsang-rangsang terpisah menjadi suatu bentuk gubahan rangsang baru dengan memberi pengalaman lengkap akan dunia yang terbentuk dari kombinasi tanpa batas antar kosakata rangsang yang mampu diserap oleh indra.
Paskalis Khrisno Ayodyantoro, Rama Adhitya, Sukmaji Hanindyo Kumoro
maket permukiman oleh : muhammad ali ridlo
video hutan : Ronaldiaz Hartantyo