Hujan mendera saat ini, dengan bulir dan kekuatan penuh jatuh menghempas ke tanah, baju baju katun dengan cepatnya menyerap dan basah, wiper mobil bergerak silang saling menepis secara cepat bergantian bulir air di kaca depan yang kian memadat. Beberapa pengendara motor hinggap menepi di beberapa halte bis atau warung warung pinggir jalan. Di beberapa perlintasan lampu merah, orang banyak bergegas, bukan untuk menghindari lampu merah yang terlampau cepat, tapi menghindari hujan yang belum berhenti 30 menit ini. Bisa jadi dalam beberapa saat lagi, ditambah dengan jalan yang kian berlubang dan tergenang air, membuat antrian kendaraan bertambah panjang.
Bandung hujan.
Setelah beberapa saat berhasil menerobos lampu merah perempatan Simpang Dago yang mengantri jauh karena sedang di perbaiki, akhirnya perjalanan di hentikan, mobil Honda Jazz kecil yang memuat beberapa baju pesanan sebuah distro, lagu-lagu Crystal Castle yang menyambar nyaring bersahutan bergantian dengan lagu Vincent Vega, buku dan leaflet yang bertebaran dan tas penuh perlengkapan menginap untuk lembur tidak menghangatkan suhu temperatur dalam mobil yang kian dingin. Mobil membelok, menyerah oleh pemiliknya, untuk membeli sebungkus rokok di Circle-K.
Dengan cepat, setelah kunci terlepas, pintu terbuka, gegas. Menampis hujan mengenai kepala dan menuju teras Circle-K yang sedang agak ramai saat itu. Seorang bapak dengan tubuh kecil, yang telah menunggu di luar mobil mencoba membantu dengan menaungi pintu yang terbuka dengan payung warna pelangi dimana salah satu besi ujungnya agak bengkok. Seragam biru, agak pudar, dan beberapa bolong sundut rokok, tidak ada tag nama di bajunya sepetinya sudah di copot dari atas saku baju, disamping lengannya melekat gambar lambang kota Bandung..
Setelah bergegas masuk, ke toko, membeli sebungkus rokok, dan beberapa permen penyegar mulut, hujan tak kunjung reda, rasanya menunggu di luar adalah pilihan terbaik, menikmati dinginnya kota Bandung dengan kehangatan beberapa kepulan rokok. 2 buah tong sampah saat itu terlihat penuh, silinder vertikal yang terbuat dari besi itu terlihat penuh, ketika lubang sampingnya menyembul beberapa kantung dan plastik sisa makanan semacam Chiki. Satu berada di pojok dekat dengan manusia manusia senasib yang sedang menikmati beberapa teguk kaleng bir Bintang berjongkok dan duduk berjejer sambil tertawa keras.
Rokok pun dibakar. Setarik rasanya kepulan itu sudah memenuhi paru yang mungkin kini terlihat abu abu dan merah kehitaman apabila di rontgen. Saat itu pandangan menuju Dago terlihat basah. Jalan yang memiring kebawah kanan, tetapi mobil-mobil berjalan lebih lambat, gerak gerak manusia lebih cepat ketika berada di luar, dan bapak tukang parkir terlihat kehujanan sambil mencoba memberhentikan kendaraan dari arah jalan agar mobil yang berusaha keluar terbata bata itu bisa dengan lancar keluar dari parkirnya.
Wanita itu, yang terlihat berada di dalam mobil, terlihat panik. Beberapa kali mesin mati. Mungkin karena gugup, mungkin karena pengendara yang telah di berhentikan oleh si tukang parkir terus menyaringkan klakson cemas tak kunjung berjalan. Manuver manuver nya pun agak terlambat, sehingga sang wanita harus melakukan maju mundur beberapa kali, bersusah payah mencoba mengeluarkan mobilnya dari parkiran.
Sambil menarik kepulan yang kesekian, pandangan ini kemudian menerawang ke awan gelap yang terus menggantung di bandung sore ini.
“Hujan ya sep! Kalo begini terus mah, pasti simpang maceeettt” seseorang mengajak berbicara sambil menunduk, mencoba membakar kretek yang baru di ambil di sisipan lubang pagar bata yang kering. Dia adalah si tukang parkir. Dalam hujan yang mulai menggerimis reda, kami membuka perbincangan. Bapak itu tidak terlalu memperhatikan penampilannya, hanya berbaju biru lusuh dengan celana bahan seadanya, dan mengalungi pluit kecil putih. Di kantungnya terlihat beberapa carik kertas menyembul, lebih panjang dari kantungnya, mungkin tanda bukti parkir.
Bapak ini kemudian bercerita, tentang anak-anak muda yang berkunjung ke toko 24 jam ini, selalu penuh, ada yang hanya mampir membeli air mineral, atau rokok, ada juga yang memang sengaja datang membeli bir dan duduk mengemper di depannya, atau hanya datang menunggu janji untuk melanjutkan perjalanannya. Kadang ia harus mengingatkan anak anak yang mulai mabuk dan tidur atau menari diatas parkiran, semata agar mobil mobil lain bisa parkir. Belum lagi tentang tipe-tipe pengunjung yang baginya menjadi hal yang menarik dan menjadi kewajaran baginya.
Sering kali, beberapa tamu seperti bapak tua yang menggandeng perempuan muda, atau meninggalkan seorang di cantik muda di mobil datang hanya sekedar untuk membeli snack dan celingak celinguk memesan kondom di belakang sang penjaga kasir. Ada juga ibu ibu seksi dengan rekan rekannya, yang dengan mobil bagus, biasanya memberi uang lebih untuk si tukang parkir hingga 5000 perak. Turis turis lokal yang menjamur memadat ketika libur lebaran atau natal taun baru yang kadang di sumpah serapah oleh pengunjung lain yang tinggal di bandung.
Obrolan terhenti sesaat, satu mobil akan keluar dan satu mobil sedang mengantri akan membelok. Bapak itu tidak peduli dengan gerimis, rokoknya masih menyumpal mulut, kemudian ia tarik, bergantian dengan suara parau berteriak mencoba memberi arahan “terus! Terus! Balas!” tampaknya pluit yang menggantung jarang di pakai, mungkin semata untuk menunjukkan dia tukang parkir atau mungkin sedang malas. Entah.
Ia kemudian kembali berdiri di samping, menghisap kembali rokoknya, yang telah terbercak tetes hujan dan kemudian bercerita kembali. Rumahnya ada di daerah soekarno hatta, mengendarai sepeda tuanya dari pagi buta, mengantar anak perempuannya yang berumur 8 tahun tiap pagi ke sekolah, dan kemudian melanjutkan ke toko. Di toko ini dia tidak sendiri, dia bersama dengan seorang lagi, seorang yang di temuinya belum lama, kira kira 3 tahun belakangan, setelah dipukuli, di usir dari pasar ledeng, perebutan daerah parkir. Obrolan berlanjut ke masalah geng motor, masalah macetnya jalan, rusaknya jalan, pemilihan walikota, Helar festival, kampus ITB, bahkan hingga gosip luna dan ariel yang sedang hangat
Dalam perbincangan, sang tukang parkir bahkan bisa dengan baik mengenali jalan jalan kecil kota bandung, ia bisa tahu tempat tempat makan yang sering di kunjungi anak anak muda, tempat membeli oleh oleh, tempat dimana geng motor nongkrong, tempat makan murah, kos-kosan, hotel-hotel mesum, permandian Tjiampelas yang sudah bobrok dimana pada waktu kecil ia sering kesana, kota yang mulai memadat di sesaki dengan jalan jalan dan gedung gedung baru yang mulai padat dan hampir sulit baginya untuk menghafal nama bangunan dibanding nama jalan atau daerahnya.
Kupingnya tiap hari di isi oleh obrolan-obrolan kecil pengunjung yang beragam, dari muda hingga tua, matanya sebagai penikmat visual kota, karena bersepeda perlahan tiap hari melihat perubahan yang terjadi di sepanjang perjalanannya, belum lagi dia sebelumnya harus melihat kondisi sekitar daerah kekuasaannya sebagai tukang parkir untuk menghindari beban pajak dari ormas atau beradaptasi dengan saingan di sekitarnya. Tubuhnya bahkan merasakan, kota bandung yang kini mulai padat, mulai panas, tidak sedingin dahulu, melalui perbincangan kecil dia juga menyayangkan perubahan Dago yang dulu dalam ingatannya sebagai jalur rindang dengan rumah rumah modern tua yang apik, kini menjadi berantakan kerap macet, namun dia juga mengagumi anak anak muda bandung yang tiap malam berkumpul menjaja musik atau sekedar berkumpul, “Dago teh, rame! Riweuh! Seneng abah mah kalo anak anak muda bandung jadi positif, dari pada main geng motor” sahutnya.
“Tukang parkir”, sambil menelaah, pikiran ini menyimpul, ia menjadi saksi kota, dalam lapisan/layer yang berlapis, ia dalam jarak mengenal kotanya, penduduknya, bahkan mengetahui kejadian atau tempat tempat tersembunyi kota yang kita tidak tahu. Dia mencoba bersosialisasi dan beradaptasi dengan kotanya dengan baik, berusaha seirama dengan kondisi sekitarnya, pengunjung, bahkan saingannya. Secara perlahan dia mencoba memahami mana bangunan baik dan buruk yang merubah kotanya, mana kualitas jalan yang baik, mana kualitas ruang kota yang baik. Semua ia dapatkan melalui pengalaman bersinggungan dengan kota secara indrawi baik dengan visual, pendengaran bahkan rasa ditubuhnya.
Rokok ketiga sudah mulai menipis terbakar menjadi abu, hujan pun telah berhenti, dalam hiruk pikuk keramaian, kita belajar dari tukang parkir, artinya kesabaran untuk memberikan arahan bagi pengendara mobil dan keiklasan ketika kesabaran itu di hargai hanya 1000 2000 rupiah, bagaimana dia lebih disiplin dari kita dengan mengatur mobil agar memuat secara rapih dan efisien, dari tukang parkir pun kita bisa melihat tanggung jawab dan berusaha menjalankan amanah melalui tugas yang dipercayai orang yang parkir di tempatnya, bahkan kewajaran dan tenggang rasa yang didapatnya bertahun tahun berdampingan dengan kendaraan murah hingga paling mahal beserta isinya.
Satu sisi kita mendapatinya sebagai manusia yang sederhana, wajar, dan menginspirasi menjalani hidup, disisi lain dia adalah sebagai perangkat penting yang turut mengatur kerapihan di kota kita berjalan dengan baik. Informan kota terbaik kita, sebagai urban flaneur menurut Charles Baudelaire, sebagai seorang yang menikmati kota, mengetahui jalan jalan tersembuyi, labirin kota kita dan merasakan aktifitas kota secara langsung tiap hari dengan caranya sendiri.
Waktu Isya menyahut, berbincang dengan tukang parkir akan labirin lapisan yang semarak dari kota kita membuat saya terjaga, tentang pentingnya memiliki mereka di kota kita daripada terganti menjadi gerbang parkir otomatis ala singapura, atau dimana semua remeh temeh hingga kontak sosial kita di landaskan pada teknologi seperti mobil, telefon selular, internet atau peta peta statis dan menjadikan kita robot robot yang sulit bersinggungan dengan kota dan penduduknya.