13.00 1/11/12
Beberapa orang tampak sibuk berlalu lalang, masing masing mengeratkan jaket dan syalnya, memasukkan tangan kedalam saku, berjalan cepat menuju tujuannya. Hari ini cuaca mencapai 11 derajat celcius. Di stasiun St. Charles, Marseilles, semua tampak tergesa. Bangunan tua yang dapat mengakomodasi 12 lajur kereta ini sedang diperbaiki dan ditambah daya tampungnya. Stasiun ini sedang menambahkan dengan program lain agar pengunjung lebih nyaman dan mudah berpindah antar moda.
Marseilles, kota yang seharusnya tidak ada dalam jadwal, terpaksa di singgahi karena tiket bis langsung dari Venice ke Paris habis terjual disebabkan libur akhir pekan di seluruh Perancis. Setelah mencari informasi melalui internet, maka pilihan perjalanan ditetapkan dengan menggunakan bis Eurolines menuju Nice dari Venice kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kereta ke Paris singgah di Marseilles.
Setelah melewati badai salju di Mondovi, Italia, terdampar tengah malam di Nice, Prancis, Merasakan kota tua di Prague, dan mengalami deret bangunan Modern di Berlin, Jerman, selalu ada pengalaman baru dalam satu perjalanan yang menggugah indera atau hati.
Lain lagi yang berkesan adalah ketika berjumpa dengan kota Nice. Kota yang menyenangkan. Lebar jalan 4 meter di kota ini lebih banyak digunakan untuk kendaraan satu arah, dengan lebar jalan pedestrian yang hampir sama besarnya untuk kendaraan bermotor. Tram tram berseliweran dan gedung-gedung rendah setinggi 3-5 lantai. Dengan berjalan sedikit dari pusat kota, kita dapat menemukan pantai panjang dengan taman taman berdampingan dengan jalur kereta listrik dan daun daun pohon oak berwarna kuning berguguran seperti kota menjadikan manusia sebagai sahabatnya.
Begitu juga pada tahun 2011 ketika di Tokyo, ketika rombongan tersesat dalam huruf-huruf kanji bertebaran di gedung gedung Shinjuku, tiba-tiba saja seorang ibu Jepang tidak terlalu muda, tersenyum dan mencoba berbahasa inggris menghampiri kami menawarkan bantuan dan berakhir memaksa mengantarkan kita ke tempat yang ingin kita tuju.
Lain di Tokyo dan Nice, di Waerebo, Flores 2008, setelah berjalan dan mendaki cukup lama sekitar 3 jam dari desa terdekat, bangunan seperti keong yang hampir punah, ternyata adalah salah satu tempat tinggal penduduk teramah yang bisa kita temukan di Indonesia. Penduduk dengan kebijakan untuk membatasi diri terhadap pengaruh modern, tetap tinggal di atas gunung menjaga warisan. Di bangunan berbentuk keong rakasasa ini juga kita mengenal bagaimana udara mengalir, meresap dari bawah panggung bangunan menjadi oksigen kayu bakar dan mengalikan kembali meresap keatas lewat sela sela atap ijuk sekaligus menghangatkan rumah dan mengawetkan material atapnya.
Perjalanan selalu menghasilkan hal hal spontan dan kejutan, begitulah rasanya ia menjadi sebuah satu titik dalam hidup yang dirindukan untuk selalu di ulang.
[2]
Pada masa sekarang, perjalanan adalah kegiatan yang semakin mudah dilakukan. Sebelum periode abad ini, perjalanan adalah bayangan yang menakutkan karena kesulitannya. Batas tempat yg tak jelas, keamanan dan informasi yang tidak akurat, kendaraan umum yang belum lengkap dan waktu tempuh yang tidak jelas, membuat manusia mengurungkan niat karena membutuhkan energi dan biaya yang besar untuk melakukan perjalanan.
Sebagai contoh, Han Awal seorang arsitek senior bercerita pada tahun 1950-an mengungkapkan ketika pertama kali ke eropa membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Setidaknya dibutuhkan waktu hingga 3 bulan menggunakan kapal laut besar dari Jakarta dan beberapa kali transit di pelabuhan besar tanpa mengetahui informasi lokasi begitu sampai di negeri Belanda saat itu.
Setelah revolusi informasi, dunia yang semakin datar karena internet dan cepatnya data berpindah, kini merencanakan perjalanan jauh lebih mudah. Manusia kini bisa memilih perjalanannya melalui ulasan-ulasan metoda dan lokasi perjalanan melalui situs website, melakukan pemesanan transportasi dan penginapan dengan cepat lewat komputer. Perjalanan menjadi sebuah kemudahan. Kemewahan bagi mereka yang memiliki waktu sempit.
Dari sekian banyak situs online seperti Tripadvisor dan Lonely planet, mereka menyediakan informasi secara online hingga buku cetak tentang tempat-tempat di seluruh dunia. Jadwal-jadwal transportasi seperti penerbangan dan harganya dengan mudah kita akses di alamat online seperti skyscanner hingga situs yang menyediakan informasi dan pemesanan hotel seluruh dunia seperti agoda.com dan booking.com.
Semaraknya perjalanan dan industri turis ini juga berdampak pada arsitektur. Arsitektur menjadi tujuan. Arsitektur dan kota menjadi salah satu alasan manusia berpindah tempat dan mencari pengalaman baru. Dari Menara Eiffel di Paris hingga Museum Guggenheim di Bilbao, Spanyol, dari kota tua di Prague hingga La Rambla di Barcelona.
[3]
Bagi arsitek, perjalanan arsitektur adalah salah satu usaha mencari inspirasi dan sekaligus merasakan langsung sang bangunan dan mengamati dampaknya terhadap indera, tubuh, hingga kota. Perjalanan dengan spesifik tujuan arsitektur dan kota ini kemudian berdampak bermunculannya website seperti mimoa.com. Mahasiswa dan Arsitek saat ini semakin dimudahkan untuk melakukan perjalanan arsitektur, berkat revolusi informasi melalui internet.
Perjalanan Arsitektur yang terkenal salah satunya adalah Le Corbusier. “Perjalanan ke Timur” salah satu buku Le Corbusier menceritakan bagaimana akhirnya ia memilih menjadi arsitek setelah mengunjungi Parthenon dan Gunung Athos di Yunani. Lain halnya Tadao Ando, salah satu arsitek Jepang ini, mengaku terinspirasi menjadi arsitek setelah melihat kerusakan perang dunia kedua di Jepang, ia memilih lebih praktikal untuk melakukan perjalanan ke eropa (Partheon dan bertemu Le Corbusier) dan melihatnya sendiri daripada belajar di kampus karena pada saat itu tidak ada biaya.
Alasan ini juga yang membawa arsitek Ridwan Kamil membuat program Urbane Fellowship Program, dengan visi “melahirkan arsitek-arsitek handal yang dapat berkarya dan membawa kota-kota di Indonesia duduk sejajar dengan kota-kota kelas dunia di dalam persaingan global yang semakin ketat”. Tak Salah, ia sendiri merasakan efek perjalanan terhadap dirinya dan ingin menularkan semangat tersebut pada generasi baru. “Melihat dunia telah mengubah perspektif saya terhadap arsitektur dan kota” ungkapnya.
Saat ini, biro-biro muda yang di pimpin seperti Andra Matin dan Yori Antar menempatkan perjalanan arsitektur sebagai salah satu cara pengembangan arsitek-arsiteknya melalui program kantor tahunan. Tradisi yang telah dirintis mereka melalui “Jelajah” di forum Arsitek Muda Indonesia, selalu menumbuhkan catatan perjalanan dan inspirasi baru. Yori sebagai contoh, setelah melakukan perjalanan ke pelosok Indonesia selama beberapa tahun, ia kemudian tergerak mengembangkan Rumah Asuh, sebuah usaha untuk menyelamatkan kebudayaan dan arsitektur setempat yang masih hidup.
[4]
Gunawan Tjahjono dalam satu artikel di Buku Tegang Bentang mendefinisikan tentang jelajah sebagai “penelusuran suatu wilayah baru yang kemudian penjelahnya kemudian menimba dari situ suatu pengalaman baru dan menerapkannya ke dalam perancangan…”
Penjelajahan arsitektur kemudian menjadi bermanfaat bila menumbuhkan satu perubahan yang lebih baik bagi yang mengalaminya. Hal ini ditambahkan oleh Gunawan Tjahjono, “penjelajah tulen seperti Le Corbusier, Khan, Tadao Ando, Eisenman dan Robert venture adalah contoh yang mampu melawan benteng dalam diri untuk keluar dari pakem yang ada setelah melakukan penjelajahan arsitektur.”
Kerumitan masalah arsitektur hingga kota tidak semudah mensolusikan dengan membayangkan melalui gambar dan desain, bahkan sebelum merancang, arsitek setidaknya perlu mengalami dan mensurvey tapak rancangannya. Jelajah arsitektur disini diperlukan sebagai pengamatan dari dunia yang baru, membentuk kita sebagai manusia yang lebih terbuka terhadap opsi lain. Jelajah arsitektur memungkinkan kita merasakan pengalaman langsung terhadap kondisi lingkungan binaan atau alam yang telah terbentuk dan merasakan akibat langsungnya. Melalui penjelajahan ke tempat tempat baru, kita mengalami langsung hubungan dan dampak antara arsitektur dengan manusia, lebih luas lagi dengan kota.
Seperti kata andramatin dalam buku lawatannya ke Jepang, HAIKK; “Setiap perjalanan pendek ke Jepang telah menjadi ‘kursus-kursus’ singkat yang semakin lama semakin dalam. Ini bukan sekolah formal untuk ambil S2, tetapi sekolah non formal untuk mengalami kebudayaan negara tetangga, dimana hal-hal yang baik dapat dijadikan teladan yang bisa diterapkan bagi bangsa ini. Melawat ke Jepang adalah kayu api pembakar semangat membangun negeri.”
Penjelajahan ke negeri lain dan ke negeri sendiri adalah proses menggali pengalaman, mengenal hal baru, memiliki standar baru, bermimpi dan merealisasikan hasil yang lebih baik Penjelahan merupakan untuk memahami kapasitas diri, dan memahami yang terjadi di luar. Membuka diri kita sendiri untuk terus belajar dan mau menerima hal dan ide baru, yang memperkaya pengetahuan. Ide, inspirasi dan pengalaman tersebut adalah kekayaan diri, memperkaya kosakata hidup dan menjadi sebuah pilihan dalam berkarya.
disamping itu, ternyata ada hal yang lebih besar dari perjalanan itu sendiri,
Life is a journey. 🙂