[1]
Sekitar 15 orang lelaki berbadan tegap, berlari lari, sambil membawa panah dan tombak. Dari agak kejauhan mereka berteriak teriak, dengan jelas seperti menirukan suara burung, bersahut sahutan kemudian tiba-tiba beramai-ramai melempar tombak ke arah sebuah tiang.
Para pria yang telah melempar atau memanah, kemudian dengan sigap mengambil kembali dan kemudian berlari menjauh dan melakukan ritual serupa hingga 3 kali. Setelah selesai para pria kemudian berlari bersama membentuk lingkaran di bawah tiang tersebut sambil meneriakkan bahasa yang kami tidak mengerti menyerupai sebuah nyanyian. Setelah lama berputar salah seorang pria naik ke atas tiang yang cukup tinggi tersebut dengan cekatan. Tak lama pria itu berdiri di tiang paling atas kemudian berteriak; “Ettay!!!!” yang artinya kemenangan.
Tiang ini tak begitu pendek, berbentuk dari beberapa kayu kayu kecil sepanjang 2-3 meter yang disusun ke atas, dan kemudian di ikat dengan kayu yang lebih lentur dengan diameter 30-40 centimeter. Setelah mencapai ketinggian 12 meter, kemudian tiang itu merekah menyerupai mahkota, sehingga orang bisa berpijak dan diberikan ikatan yang berfungsi sebagai pengaku mahkota dan juga sebagai railing pegangan orang yang akan berdiri diatasnya.
Hari ini adalah proses pembuatan Kayou di Kampung Suroba, Lembah Baliem, Papua. Kayou, adalah nama dari tiang tersebut. Kayou adalah menara pengawas yang terbuat dari kayu. Kayou dahulu tersebar di kampung kampung Suku Dani yang ada di lembah Baliem, Papua. Kayou digunakan oleh suku Dani sebagai menara pengawas yang di letakkan di batas batas desa sehingga bisa memantau keberadaan musuh yang mengancam kampung.
Setelah pembangunan Kayou selesai, para pria berjalan kembali ke kampung dengan bernyanyi-nyanyi bersahutan satu sama lain menuju ke silimo. Akhir hari ini para pembangun kayou bergembira dengan menghabiskan waktu memasak bakar batu dengan seluruh penduduk kampung.
[2]
Masyarakat Suku Dani tinggal berkelompok dalam satu teritorial yang disebut Uma. Satuan terkecil dari uma adalah keluarga luas, yang terdiri dari 2-3 keluarga inti yang tinggal dalam satu silimo, yang terdiri dari honai pilamo atau rumah khusus lelaki, beberapa honai edai atau rumah perempuan, honai untuk babi dan honai dapur yang berkumpul dalam satu kawasan terpagar. Dalam satu uma akan ada beberapa silimo dan di sekitar silimo akan ada ladang yang berbatasan dengan tanah tak berpenghuni dan berbatasan dengan daerah kampung lain baik kampung musuh atau kampung aliansi.
Kayou, di suku Dani digunakan sebagai menara pengawas. Kayou di bangun di batas ladang di pinggir kampung yang melihat ke daerah tak berpenghuni melihat ke arah kampung musuh. Setiap menara di jaga oleh pria pria yang memiliki ladang di sekitarnya. Sehari hari, ketika wanita bekerja di ladang menanam sayur dan ubi ubian, para pria berjaga jaga di sekitar menara tersebut.
Perang dalam Suku Dani memiliki banyak sebab. Suku dani memiliki paham patrinieal, yang diturunkan melalui anak laki laki. Suku Dani juga di perkenankan memiliki lebih dari satu Istri tetapi tidak diperbolehkan menikahi wanita yang dari satu suku (incest). Peperangan dan permusuhan biasanya terjadi karena masalah pelintasan daerah perbatasan, perebutan perempuan dan pencurian.
Dalam peperangan ini Suku Dani meyakini darah yang tumpah dari perang akan menyuburkan tanah mereka untuk bercocok tanam. Sejak kedatangan misionaris dan budaya baru yang masuk ke daerah seluar 45 Hektar di Lembah Baliem ini, perang suku sudah banyak berkurang.
Lembah Baliem yang dihuni oleh Beberapa suku termasuk Suku Dani dan Lani baru kini telah mengenal kehidupan modern, bermula ketika pesawat perintis misionari mendarat dan melakukan kontak pertama awal tahun 30-an. Praktik tradisi animisme dan dinamisme dari masing masing kampung masih bisa kita jumpai di beberapa kampung di sekitar Wamena, pusat kota Lembah Baliem. Suku suku di sekitar Lembah Baliem pun sudah tidak takut melakukan perjalanan dari satu kampung ke kampung lainnya yang sebelumnya rawan karena perang suku. Perlahan juga Menara menara pengawas Kayou menghilang karena fungsi utamanya sebagai fasilitas pengawas kampung dari serangan musuh sudah tidak digunakan.
[3]
Agustus Tahun 2013, kantor HAP dan Rumah Asuh mengadakan perjalanan ke Wamena untuk melihat festival Lembah Baliem. Ketika perjalanan tersebut, kami dikenalkan dengan Andre Liem dari PATGOM (Papua Tour Guide Community). Andre mengenalkan kami dengan kampung Suroba 12 Km arah barat Kota Wamena yang terletak di bawah Bukit Sur. Kampung Suroba yang di kepalai oleh Kepala Suku Herman Himan telah memiliki homestay yang terletak di dekat kampung dengan berbentuk seperti silimo yang terdiri dari beberapa honai untuk penginapan tamu.
Pada saat kunjungan tersebut, kami disambut dengan tari selamat datang yang di inspirasi dari cerita perang Suku Dani di lokasi kayou yang terletak di jalan masuk ke kampung Suroba. Kampung Suroba memiliki akses masuk yang menyenangkan, cukup mudah di lalui, dengan 10 menit berjalan pertama di sekitar perbukitan dan ladang, kemudian 15 menit kedua melewati hutan rindang dan melewati jembatan kayu tradisional yang cantik yang menyebrangi Sungai Aike.
Dari perjumpaan pertama, kemudian tercetus untuk memperbaiki menara kayou yang sudah rapuh pada tahun 2014. Menara Kayou ini kemudian sebagai katalis pembangunan revitalisasi Silimo di Suroba, perbaikan fasilitas honai penginapan turis dan pembangunan kembali satu Kayou besar di muka kampung.
Langkah pertama yang dilakukan masyarakat adalah melakukan musyawarah besar. Pada Awalnya pembangunan kayou sangat sensitif untuk di lakukan karena ditakutkan akan memicu kesensitifan kampung lain sebagai petanda perang. Masyarakat Suroba kemudian melakukan sosialisasi, termasuk ke masyarakat di dalamkampung dan diluar kampung. Pembangunan Kayou hari-hari ini bukan sebagai tanda kembali ke jaman perang dan memicunya tetapi sebagai simbol akan batas desa dan menunjukkan kemenangan atas mempertahankan budaya. Awal tahun 2015, Kayou besar di bangun, kerjasama antara Masyarakat Suroba, Rumah Asuh, Patgom, IAI Papua, dan donatur yang tersebar seluruh Indonesia.
[4]
Kampung Suroba adalah awal dari kerjasama Rumah Asuh dengan masyarakat di Papua. Masih banyak tantangan bagaimana dokumentasi pengetahuan konstruksi bertradisi bangunan vernakular bisa di lakukan dan bagaimana proses pembangunan atau perbaikan kembali bangunan bangunan ini bisa memicu kebanggaan masyarakat dan dapat menjadi katalis pengembangan bangunan dan budaya yang menyesuaikan kebutuhan saat ini. Dokumentasi tentang bagaimana bangunan hasil tradisi ini bertahan dan berkembang sesuai jaman.
Proses pembangunan konstruksi kayou ini memperlihatkan tradisi gotong royong yang masih melekat di bangsa kita, melalui donatur dari berbagai pihak dan bagaimana masyarakat Suroba sendiri dapat bahu membahu membangun kampung dan bangga melakukan tradisi yang melengkapi pembangunannya. Mulai dari tradisi upacara selamat datang, pendirian tiang, peresmian tiang, masak bakar batu, hingga tipar(pemberkatan pulang tamu). Seluruh proses ini melibatkan sebagian besar penduduk kampung baik tetua tetua hingga ibu ibu dan yang muda.
Lain pembangunan Kayou, kita bisa lihat inspirasi lebih luasnya lagi lewat cara hidup Suku Dani. Dalam budaya Masyarakat Suku Dani yang kita lihat, kita bisa melihat bagaimana seluruh gaya hidup berorientasi pada kelestarian manusia dan lingkungannya. Pria Suku Dani sehari hari menggunakan Koteka, penutup kelamin pria dengan menggunakan labu kuning yang dikeringkan, sedangkan para wanita menggunakan Wah, semacam rok dengan bahan dari serat/rumput yang di rajut. Ketika dingin mereka menggunakan minyak babi dan lumpur yang di olesi ke tubuh mereka yang efektif menambah kehangatan dan mendiami honai dengan api unggun didalamnya sebagai pusat kehangatan. Masyarakat Dani juga mengkonsumsi ubi ubian dan sayur sayuran seperti buah merah dan daun paku pakuan yang terbukti sehat. Segala bahan dan material yang digunakan dalam kehidupan sehari hari masyarakat Dani baik dalam pembangunan bangunan, kayou, pakaian, hingga bahan makanan berasal dari sekitar mereka dan menjadi sampah yang larut dicerna oleh bumi, bahan yang “Tuntas”, selesai secara ekologi, lestari, kembali ke alam.
Masyarakat Suku Dani kini pun mengalami perubahan. Gaya hidup modern turut mempengaruhi kehidupan masyarakat, tetapi tidak secara tuntas menyelesaikan masalah. Seperti berbudaya pakaian yang menimbulkan penyakit baru seperti flu, penyakit kulit, dsb hingga masalah limbah karena penggunaan bahan pembersihnya (link). Kita yang tinggal di Kota, yang selalu disediakan makanan nasi dan berpakaian yang telah kita anggap layak tetapi tidak mentutaskan masalah secara holistik. Kita dituntut secara sosial untuk beradab tetapi tidak bisa bahkan cenderung tak acuh menyelesaikan masalah sampah seperti misalnya plastik dan detergen dari penggunaan pembersih baju. Dari gaya hidup, juga mempengaruhi cara kita berpikir sebagai arsitek, contoh kecil tapi berdampak besar adalah kita seringkali tak acuh terhadap efek material bangunan yang kita gunakan.
Hari hari ini kita perlu belajar kembali, belajar menarik kebijakan dari tradisi masyarakat Suku Dani bagaimana mengambil dan memanfaatkan dari alam secara cukup dan tuntas.Kita terjebak dan berkutat pada politik sosial dan ekonomi ketika masyarakat tradisi seperti Masyarakat Suku Dani bisa hidup secukupnya.
Perjalanan dan pembangunan kembali bangunan tradisi Suku Dani di Suroba dan tempat lain di Indonesia, adalah satu titik bagi saya. Titik untuk memikirkan kembali apa itu peradaban dan definisi keterbelakangan, yang ternyata kita anggap baik tetapi malah menimbulkan masalah lain yang belum selesai bahkan merusak tempat lain karena akibat yang belum terpikirkan secara menyeluruh.
Saya mencoba belajar kembali pada mereka, mencoba mengambil kebijakan yang baik yang diajarkan masyarakat tradisi untuk hidup dan berdampingan dengan alam dan lingkungan.
seperti sahut rekan saya, Gede Kresna,
secara tuntas.