Adakah Masa Depan Bagi Tuhan?

Rangkuman dari buku oleh Karen Armstrong
 
Mungkin tuhan memang merupakan gagasan masa silam. Agama tradisional mengajarkan bahwa kita mesti menyesuaikan diri dengan gagasan tuhan tentang kemanusiaan untuk menjadi manusia yang utuh. Sebaliknya kita mesti melihat umat manusia sebagai wujud kebebasan. Apakah ketiadaan Tuhan adalah wujud kebebasan. Kebebasan dari teror masa kanak-kanak, sesuatu yang menggembirakan tidak harus tunduk di hadapan ilah yang pendendam, yang mengancam kita dengan hukuman abadi tanpa berpikir bahwa itu mungkin sekedar proyeksi pikiran yang menyimpang.
 
Sartre mengatakan tuhan yang sempurna secara mutlak tak menyisakan untuk kita kerjakan atau capai. Bagi Camus, manusia harus menolak tuhan secara membabi buta agar cinta mereka tercurah sepenuhnya terhadap manusia. Menurut Freud, keagamaan merupakan ketidakdewasaan yang akan di tuntaskan oleh sains. Heidegger mengatakan ex nihilo omne qua ens fit, mengapa harus ada, bukannya tiada? Ia membuat satu tesis bahwa pengalaman ketiadaan tuhan di zaman kita bisa membebaskan kita dari belenggu wujud.
 
Apakah tuhan adalah cita-cita? kerinduan akan keadilan. tentang keterbatasan kita; dan keberharapan ketidakadilan di dunia akan segera berakhir. Tapi kita juga menyaksikan bahwa kasih sayang merupakan ciri sebagian besar ideologi. Nabi-nabi juga mengajarkan bahwa kultus dan penyembahan tidak berguna, kecuali masyarakat secara keseluruhan mengadopsi etos yang lebih adil dan berkasih sayang. Etos yang menuntut kita untuk keluar dari keterbatasan ego kita, membuang rasa tidak aman dan prasangka yang telah kita warisi. Tidak mengherankan agama-agama tuhan pernah gagal meraih standar yang tinggi ini.
 
Sering orang -orang beriman konvensional yang tidak tergolong fundamentalis, memiliki keagresifan yang sama dengan kaum fundamentalis. Mereka menggunakan tuhan untuk menopang cinta dan kebencian mereka sendiri yang mereka nisbahkan sebagai cinta dan kebencian tuhan. Orang ini yang secara fanatik menunaikan ibadah kepada tuhan tetapi merendahkan martabat orang orang dari etnik dan ideologi berbeda berarti mengabaikan salah satu kebenaran yang mendasar. Tuhan monoteisme historis menuntut permaafan bukan pengurbanan, kasih sayang bukan peribadatan yang pura-pura.
 
Tuhan tidak mengada dalam pengertian yang sederhana, misalnya atau bahwa kata tuhan itu sendiri merupakan simbol suatu realitas tak terucap yang melampauinya. Di masa silam manusia selalu menciptakan simbol-simbol baru untuk menjadi fokus spiritualitas. Manusia selalu menciptakan suatu keyakinan untuk dirinya sendiri, untuk menumbuhkan rasa kagum dan meraih makna kehidupan yang tak terkatakan. Kita berada dalam kematian ruh yang tak lagi mampu menciptakan iman pada makna kehidupan. Manusia tidak bisa menanggung beban kehampaan dan kenestapaan, mereka akan mengisi kekosongan itu dengan menciptakan fokus baru untuk meraih hidup yang bermakna. Berhala kaum fundamentalis bukanlah pengganti yang baik untuk tuhan;
 
Gairah keimanan yang baru untuk abad ini perlu merenungkan dengan seksama sejarah Tuhan demi menarik pelajaran dan peringatan

About the author