Tradisi Meng”ada” Dalam Naungan

Arsitektur dibangun karena kebutuhan manusia untuk berkegiatan menyesuaikan dengan lingkungannya. Pertanyaan dan asumsi saya ini hadir dan masih berproses dalam perjalanan-perjalanan saya melihat peradaban di tempat-tempat yang berbeda, sekaligus ketika mempertanyakan apa tujuan manusia, apa yang membedakannya ketika tinggal di dunia, dan beberapa pertanyaan yang di bantu dengan pemahaman “dasein” atau “being” nya Heidegger untuk hidup dengan yang lain atau liyan. Apalagi dasein atau being-nya Heidegger dan pribahasa jawa “Urip iku Urup” (hidup itu nyala) bagi saya terasa berdekatan, bahwa hidup adalah tinggal bersama. Bagi saya tradisi dan budaya manusia timbul ketika manusia beradaptasi terhadap lingkungan dimana ia tinggal. Berbicara tempat atau geografis ada hal mendasar yang berpengaruh langsung dengan tubuh manusia, yaitu; iklim dan cuaca setempat. Ketika berbicara tentang iklim, ketika teknologi dan produksi industri belum hadir, ada beberapa hal yang menjadi menurut saya menjadi ciri-ciri khusus pada arsitekturnya. Mari kita telusuri ke belakang;
 
melindungi – menaungi
 
Pada iklim ekstrim, ketika cuaca dingin dan panas yang melewati batas adaptasi tubuh, maka manusia menggunakan alat untuk mengatasinya. Pakaian yang dibuat dari sumber sekitarnya seperti kulit binatang, tenun kain, atau dari tumbuhan adalah salah satu cara manusia menyesuaikan suhu sekitar dengan tubuhnya. Pada waktu-waktu tertentu ketika pakaian tidak dapat memenuhi adaptasi tersebut, maka dibutukan bangunan pelindung agar manusia tetap dapat hidup. Pada iklim tropis, suhu dan cuaca jarang mencapai keadaan ekstrim yang tidak dapat diterima oleh tubuh. Pakaian bisa membantu manusia beradaptasi pada suhu sekitar. Manusia jarang membutuhkan lindungan terhadap suhu dan cuaca pada iklim tropis, tetapi lebih banyak kebutuhan untuk ternaungi agar tidak tersengat matahari atau curah hujan yang ekstrim.
 
Ruang dalam – ruang luar
 
Tubuh manusia yang bisa beradaptasi lebih banyak waktunya di iklim tropis dalam kegiatan sehari-harinya, lebih cair hubungannya dengan lingkungan alam selama kenyamanan tubuhnya sudah terpenuhi. Kenyamanan tubuh di tropis lebih banyak mengenai kelembapan, dan tidak terkena panas terik matahari langsung dan hujan yang menggangu kegiatan. Sedang kan pada iklim dengan suhu cuaca yang ekstrim, kegiatan manusia hampir banyak memerlukan suatu lindungan agar tetap dapat bekerja dengan nyaman. Hubungan dengan lingkungan alam sekitar menjadi satu pencapaian tertentu ketika kenyamanan dapat di capai untuk melakukan kegiatan sehari-hari telah tercapai di kondisi cuaca ekstrim. Lindungan menjadi keperluan yang mendesak bagi manusia yang hidup di lingkungan ekstrim untuk dapat berkegiatan. Fokus pada kegiatan ruang dalam ini lah yang membentuk teori-teori baru tentang kebutuhan ruang dan lindungan bagi mereka dibanding fokus pada kegiatan di iklim tropis yang lebih cair terhadap hubungannya dengan lingkungan alam sekitarnya. Bangunan vernakular di iklim ekstrim dengan musim dingin yang panjang, terlihat banyak penataan ruang dalam yang lebih kompleks dibanding dengan iklim yang lebih hangat. Di beberapa bangunan vernakular di iklim tropis, banyak ruang lebih gelap, kegiatan dan berkomunitas lebih banyak di lakukan di luar bangunan, dan bentuk bangunan disamping dominasi atap, banyak dirayakan lebih meriah.
 
rumah – kampung
 
Atas dasar pemikiran melindungi dan menaungi, dan kebiasaan hubungan kegiatan manusia dengan lingkungan alamnya, maka terbentuk pemahaman saya akan komunitasnya. Manusia di iklim ekstrim yang terbiasa di bangunan lindungan, berkegiatan di ruang dalam, lebih membentuk komunitas yang bersifat individual atau introvert dan lebih kecil. Pada satu tingkat komunitas yang lebih besar mereka membutuhkan ruang sosial antara sebuah lindungan baru untuk fungsi kegiatan yang lebih masif dengan ruang luar untuk mengantisipasi luberan kegiatan atau manusianya. Sedangkan pada iklim tropis yang terbiasa berkegiatan atau bekerja secara cair diantara lingkungan luar dan dalam membentuk komunitas yang lebih cair terhadap alam sekitarnya. hunian-hunian membentuk satu komunitas dengan orientasi ruang bersama dimana kegiatan di ruang luar bisa di lakukan bersama lebih sering.
 
Kekal – sementara
 
Beberapa tulisan menyebutkan bahwa perkembangan peradaban dimulai dari area tropis dan sub tropis ke arah ekstrim dingin. Karena iklim yang dapat diterima oleh makhluk hidup, area tropis memiliki 80 persen spesies yang ada di bumi. Manusia yang mulai menempati area-area dengan iklim ekstrim memerlukan pengembangan teknologi untuk dapat tinggal di iklim tersebut. Dengan cuaca yang dapat diterima oleh tubuh yang terbatas dengan waktu, masyarakat mengembangkan manajemen waktu yang baik sehingga bisa bertahan hidup. Manajemen waktu ini yang menurut saya menimbulkan beberapa perbedaan sifat manusia tergantung geografisnya. Bagi yang tinggal di daerah eskstrim, manusia perlu membuat jadwal-jadwal yang terukur agar hidupnya terpenuhi dengan waktu tanam-panen-simpan. Manusia di iklim ekstrim bagi saya terlihat memahami waktu lebih linear dengan jadwal yang terukur untuk bertahan hidup di keterbatasan waktu aktif nya di alam. DI iklim tropis dimana hanya ada dua cuaca, yaitu hujan dan kering, tradisi tanam-panen-simpan lebih fleksibel karena kekayaan lingkungan yang lebih kaya dan dapat dimanfaatkan pada masa-masa paceklik-dengan mengesampingkan bencana atau anomali alam. Karena keluwesan daya dukung lingkungan ini, pemahaman waktu di masyarakat tropis (termasuk sub tropis) lebih fleksibel bahkan bisa di bilang melihat waktu lebih seperti lingkaran. Lingkaran dimana akan ada hari-hari esok untuk mencari jalan untuk tetap hidup. Karena ke-linear-an dan keterbatasan waktu di iklim ekstrim, maka banyak pemahaman tentang cita-cita kekekalan termasuk dengan budaya bangunnya dibanding dengan manusia di iklim tropis yang lebih “santai” dengan waktu, dan mengutamakan kualitas yang berbeda.
 
Berat – ringan
 
Kebiasaan manusia terhadap keadaan geografis dan kekayaan alam setempatnya ini kemudian menurut saya tercermin pada budaya keseharian dan membangunnya. Selain karena ketersediaan material, dalam budaya musim ekstrim, dalam arsitektur vernakular, manusia berusaha membangun dengan material-material yang melindungi, kokoh sehingga terlihat berat seperti batu yang kokoh, kayu yang berlapis-lapis dibandingkan dengan arsitektur vernakular di iklim tropis yang lebih ringan karena penggunaan bahan yang lebih sedikit. Tentu ada anomali dalam penggunaan bahan yang berat misalnya ketika berhadapan dengan keterbatasan bahan di sekitar dan kekuatan alam seperti angin dan gempa.
 
catatan kekuatan alam/liyan sebagai dasar kepercayaan setempat
 
Bangunan vernakular mengajarkan bahwa bangunan adalah hasil pemikiran dan trial-error yang berlangsung terus menerus. Bangunan menjadi tradisi yang menyesuaikan dengan alam dan kebutuhan manusianya yang cenderung berubah. Tradisi yang timbul dari budaya selalu erat hubungannya dengan hubungan manusia dan alam. Sistem kepercayaan manusia pada masyarakat tradisi biasanya tumbuh karena kepekaannya terhada kekuatan alam. Pada hal-hal yang tidak dimengerti dan tidak dapat ditaklukan pikiran dan kekuatannya, manusia akan menyusun sistem kepercayaannya sehingga muncul tradisi menghormati kekuatan alam tersebut. Misalnya pada sebuah kekuatan alam yang berpotensi merusak seperti gempa, gunung berapi, gelombang laut tsunami. Atas dasar kekuatan yang tidak dapat di taklukannya maka manusia akan membuat sistem untuk mengurangi dampak negatif dengan berusaha bersahabat atau menghindarinya. Pada bangunan vernakular dapat kita temui sistem kepercayaan ini memiliki hubungan langsung dengan budaya membangun seperti orientasi dan bentuk menghadap laut, angin, ataupun gunung berapi yang memudahkan tanda-tanda untuk evakuasi bila terjadi bencana. Tidak terlepas dari bencana, kekuatan alam lain seperti matahari atau binatang-binatang yang bermanfaat atau berbahaya kemudian masuk sebagai salah satu yang masuk dalam kepercayaan dan menjadi inspirasi tradisi budaya membangun arsitektur vernakular. Pergantian sistem kepercayaan yang baru, berpotensi hilangnya kepekaan terhadap faktor alam tersebut, maka kedepannya masyarakat dengan kepercayaan baru membuat satu sistem kompleks dengan perancang yang memahami kondisi-kondisi alam dalam budaya bangun yang baru.
 

Bioclimatic Analysis in Pre-Design Stage of Passive House in Indonesia by Santy, Hiroshi Matsumoto, Kazuyo Tsuzuki and Lusi Susanti
Bioclimatic Analysis in Pre-Design Stage of Passive House in Indonesia by Santy, Hiroshi Matsumoto, Kazuyo Tsuzuki and Lusi Susanti

 

About the author