Membayangkan Jalan Kembali Menjadi Tempat untuk “Manusia”

Bunyi pengeras suara membahana dari ujung jalan. Suaranya parau hampir sulit terdengar, tetapi tak berselang lama setelah ia berteriak-teriak dan berhenti, seluruh orang membalasnya dengan tak kalah berteriak-teriak;
 
Huriya!! Huriya!! Huriya!!
 
“Bebas”, begitu ucap para pendemo dalam bahasa Arab meneriakkan berulang-ulang, kemudian seluruh jalan bernyanyi dengan lantang, lagu yang saya pun tidak mengerti. Saya duga kerumunan masa tersebut menyanyikan lagu pembakar semangat memimpikan Mesir yang demokratis.
 
pemandangan itu kemudian meluas, diambil dari helikopter sang wartawan. Dari satu sudut jalan, ke seluruh jalan yang berjubel orang-orang hingga terlihat hampir berblok-blok bangunan dan jalan yang memusat ke satu plaza penuh dengan orang. Mereka tampak sangat hidup, bersemangat. Hari itu di Lapangan Tahrir, Kairo, Mesir, mungkin hampir seluruh penduduk terbakar dalam semangat. Sebuah protes revolusi. Jalan-jalan sekitar Lapangan Tahrir di Kairo, menjadi saksi sejarah pada tahun 2011.
 
Adegan siaran langsung itu saya saksikan dari ribuan kilometer jauhnya. Ia mengingatkan saya pada pemandangan dokumenter sewaktu tembok berlin di runtuhkan. Mengingatkan saya juga dengan klip-klip ingatan saya akan tragedi Trisakti hingga Semanggi tahun 1998-1999 lalu.
 
Tak berhenti di revolusi, semangat atau kegegap-gempitaan di jalanan kota juga mewujud dalam suasana yang jauh berbeda ketika perayaan tahun baru tiba, dimana jalan-jalan di penuhi, orang-orang berjubel merayakan tahun yang baru, semangat yang baru bersama kembang api yang meriah. Lain tahun baru, saya masih ingat jalan-jalan di Solo di penuhi manusia ketika mengadakan acara Grebeg-an memperingati Tahun Baru Hijriah-satu suro. Kegiatan dan tempat ini juga mengingatkan pada parade-parade kemenangan olahraga hingga acara kebudayaan besar seperti Mardi Grass di New Orleans, Amerika Serikat hingga festival Rio di Rio de Jainero, Brazil.
 
Jalan kemudian menjadi saksi sejarah karena kegiatan yang melekat padanya. Selain itu, jalan-jalan juga di ingat menjadi penanda kota karena karakter lingkungannya. Sebut saja Broadway di New York yang di kelilingi gedung-gedung tinggi dan macam-macam gedung hiburan, Champs-Élysées di paris dengan gerbang kotanya yang ikonik, Jalan Lombard di San Fransisco dengan jalan berkontur curam yang meliuk-liuk bersama tamannya yang hijau hingga La Rambla di Barcelona dengan pedestriannya yang lebar dan panjang dilengkapi kafe dan pepohonan. Satu kesamaan di nama-nama jalan tersebut, mereka adalah ruang publik yang hidup tidak sekedar menjadi utilitas kota.
 

 
Di televisi baru-baru ini, sebuah berita menyeruak. Aktivis yang mendukung pedestrian di jakarta bertengkar dengan pengendara motor. Anehnya pengendara motor marah dengan hebat karena dilarang menggunakan trotoar sebagai akses motornya. Tahun-tahun belakangan ini, di Jakarta, jalan menjadi tempat sekedar untuk ruang mobilitas dan akses transportasi manusia dibanding memberikan kebutuhan ruang dasar manusia seperti interaksi sosial, wadah aktifitas kegiatan, hingga hubungan personalnya dengan tempat. Kita banyak membangun jalan-jalan raya untuk kendaraan bermotor. Jalan sekadar sebagai sarana perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. Kita menghabiskan ruang-ruang potensial tersebut dengan biaya infrastruktur tinggi. Setiap kita membangun untuk kendaraan bermotor maka kita akan menghasilkan jumlah kendaraan bermotor yang naik tiap tahunnya.
 
Telah banyak usaha pemerintah nasional dan daerah berusaha mengembalikan ruang hijau di kotanya. Bertahun-tahun ruang hijau atau taman telah di komodikasi menjadi bangunan komersial dan tak sedikit usaha untuk mengembalikannya menjadi ruang hijau. Pada tahun 2009 Pemerintah jakarta berusaha menutup 25 Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU) yang berada di jalur hijau. Tak berhenti disana, Jakarta di bawah kepemimpinan secara berurutan Joko Widodo kemudian Basuki Tjahja Purnama berusaha membangun ruang terbuka hijau. lain di Jakarta, Taman-taman di Bandung bertambah dengan tema-tema tertentu untuk memanjakan masyarakat Kota Bandung sejak Ridwan Kamil-seorang urbanis yang menjadi walikota Bandung sejak 2013. Tak kalah dengan Ridwan Kamil, Bupati Banyuwangi, Azwar Anas juga menggenjot ruang publik di kotanya dengan memperbaiki alun-alun hingga merevitalisasi sekitar Pantai Boom.
 
Jalan adalah salah satu ruang publik kita yang paling dasar. Jalan berpotensi sebagai ruang terbuka multi fungsi yang membentuk pengalaman fisik dan mental lansekap kita tentang kota. Jalan menjadi struktur fisik kota yang melekat terhadap sejarah. Jalan bisa menjadi simbol perayaan hingga revolusi. Tak sedikit kita menamakan jalan-jalan kita dengan sejarah yang melekat padanya, dari kegiatan yang pernah terjadi, nama-nama pepohonan yang pernah ada disekitarnya hingga nama presiden atau pahlawan.
 

 
sketsa01
 
Tahun 2017, kantor Han Awal & Partners, berkesempatan membantu konsultan Benatin untuk Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengerjakan koridor Gelora Bung Karno sebagai ruang publik. Sebuah proyek revitalisasi koridor utama Gelora Bung Karno. Beberapa bangunan di Gelora Bung Karno merupakan cagar budaya peninggalan arsitektur Modern era 1960 yang di desain oleh Arsitek Rusia. Komplek olah raga Bung Karno di desain dengan pendekatan modern yang dianggap Presiden pertama Indonesia, Soekarno sebagai gaya arsitektur baru pada saat itu yang menunjukkan semangat Indonesia yang satu. Sejalan dengan waktu, setelah 60 tahun, kami menyadari bahwa keragaman dan kesatuan adalah hal yang sama pentingnya. Keragaman menurut saya perlu muncul tanpa terjerumus dalam skala-skala produksi material yang monoton sehingga tidak menjadikan gaya arsitektur modernis terjebak dalam kebosanan.
 
GBK-MASTERPLAN
 
Ke empat koridor besar ini kami rancang dengan menyelipkan identitas tentang kesatuan negara Indonesia yang terdiri atas keragaman yang terbagi atas 3 daerah waktu dan satu bagian dimana Indonesia adalah bagian dari penduduk dunia. Secara Fungsional, kami meletakkan sebuah koridor utama selebar minimal 10 meter sebagai akses utama pedestrian dan akses kendaraan yang mendesak dengan menggunakan beton warna setebal 25 cm. Untuk menghindari keretakan karena muai susut beton, pengecoran dilakukan setiap per jarak 2 meter dengan menggunakan beton warna-tiga gradasi abu-abu yang berbeda.
 
Di samping koridor utama ini kami meletakkan perluasan ruang pedestrian selebar minimal masing-masing 5 meter ke kiri dan ke kanan. Ke empat koridor ini kami satukan dengan pola DNA yang berpusat ke Stadion Utama. Setiap DNA tersebut kami isi dengan interpretasi pola-pola tenun dari masing-masing zona ke dalam bentukan paving 10×10 cm setebal 8 cm sehingga cukup kuat bilamana dalam keadaan mendesak dibutuhkan akses kendaraan. Untuk membatasi ke empat koridor dengan bangunan atau taman di sekitarnya, kami pisahkan dengan menggunakan taman-taman miring. Taman miring ini akan berisikan tanaman peneduh dan perdu dengan tinggi maksimal dinding 1.2 meter dalam usaha mempertahankan akses visual ke taman atau bangunan disekitar koridor. Untuk mensiasati kejenuhan karena jarak tempuh koridor berkisar antara 400-700 m ke Stadion Utama, dinding-dinding ini dibuat melengkung sebagai intepretasi ulang terhadap tempo dari musik selamat datang dari masing-masing daerah zona waktu Indonesia. Pekerjaan selanjutnya adalah usaha mencegah vandalisme terhadap dinding-dinding ini dengan membuatnya maju mundur dan di cat dengan permukaan kasar. Taman miring selain berfungsi menjaga skala manusia lewat pohon peneduh juga kami lengkapi dengan tempat duduk beton. Sehingga bilamana cuaca terik, para pengunjung bisa berjalan di antara pohon2 rindang yang berada di sekitar koridor utama dan berekreasi. Secara umum, seluruh koridor menggunakan material modern yang bisa di produksi secara cepat seperti beton dan paving dan di lengkapi dengan lansekap pohon-pohon besar khas Indonesia dan rumput gajah mini untuk meminimalisasi perawatan.
 
Koridor baru yang minimal mencapai lebar 20 meter tersebut, dibuat mengikuti ketinggian permukaan eksisting, hanya terdapat pemisah kanstin sofa setinggi 7 cm semata-mata ketika akses mendesak kendaraan di koridor utama tidak menggunakan ruang di sampingnya. Ruang koridor selebar 20 meter ini diharapkan agar lebih fleksibel untuk kegiatan multi fungsi dari komunitas yang menggunakan ruang publik ini nantinya. Untuk menghubungkan akses dari taman atau bangunan menuju koridor utama, sebelum mencapai ke taman miring, kami sediakan koridor sekunder selebar 3 meter.
 
Bagi kami, Jalan adalah salah satu ruang publik yang menghubungkan hunian-hunian, kantor, program-program kota, dan yang paling penting adalah sebagai wadah manusia bertemu. Jalan bisa menjadi salah satu peran mendorong kehidupan sosial dan ekonomi komunitas yang aktif. Maka jalan harus di buat dengan skala manusia, ruang yang fleksibel terhadap beragam program aktifitas dan tentunya memperhatikan detail-detail kecil. Dengan membuat jalan untuk manusia, maka harapan kami adalah menghasilkan ruang positif bagi manusia sebagai ruang publik yang ramah.
 
Tim Desain Koridor: Yori Antar, Djuaini, hafiz ramadhan, Inggita Saraswati, Nadya Azalia, Paskalis Khrisno Ayodyantoro, Prinka Choesin, Steve Asoes,
 


 

About the author