Basel, Paris, Amsterdam 2018

Orang itu tidak dapat berkata apa-apa.
 
Ia menghampiri dan mengatakan kejadian ini sering terjadi di kereta.
 
Kereta Thalys, sebuah kereta eksekutif milik Perancis dan Belgia yang menghubungkan Paris-Brussel-Amsterdam yang dapat memacu kecepatan hingga 350 Km/jam. Kereta merah marun ini memang cepat dan sunyi ketika bergerak cepat. Di layar depan terdapat penunjuk kecepatan sehingga penumpang bisa mengetahui kecepatan keretanya. walaupun kursinya terlihat nyaman, tetapi kereta ini terasa menua. Harga tiketnya sekali jalan melebihi harga tiket easyjet-layanan pesawat promo di eropa. Sembari duduk dengan nyaman tanpa berusaha tidak membuat denyit dari besi-besi yang mulai longgar di tiap tempat duduknya, Pain au chocolat yang dibeli di stasiun Gare du Nord jadi terasa berharga sekali di tengah kelaparan selama hampir 3 jam kereta baru saja sampai Brussel.
 
Saat ini, ketika kereta berhenti terakhir di Amsterdam Centraal, satu buah tas dengan kameranya hilang! Petugas kereta hanya bisa pasrah dan membantu mencarikan kantor polisi untuk membuat laporan kehilangan. “je suis désolé” maaf, katanya lagi. Menurutnya seringkali kejadian kehilangan tas terjadi di kereta. Kantor polisi tampak sedang sibuk. Seorang polisi terlihat sibuk mengetik di balik bilik mengatakan kami harus menunggu karena padatnya kejadian luar biasa di stasiun. Luar biasa, yang dimaksudnya adalah luar biasa banyak kejadian.
 
Sambil menunggu dipanggil, ruang kecil ini terasa mencekam. ruang sebesar 2.5mx2.5m terbayang seperti ruang-ruang interogator interpol seperti di film-film aksi. Terbayang sebentar lagi ada yang membanting pintu dan pistol-pistol menyalak menyerang polisi dari arah yang tidak diketahui. Selain memori tentang film aksi, terbayang juga memori tentang memori. Memori kamera yang hilang!
 
***
 
Gereja ini sering disebut gereja dengan bentuk tangan menutup berdoa.
 
Beton adalah material yang dominan di bangunan ini. Untuk menuju kesini, perlu satu hari penuh lintas 2 negara. Setelah terbang dari pelabuhan udara Amsterdam menuju Zurich perjalanan belum berhenti. Perjalanan berikutnya adalah menuju ke Basel dengan kereta mulus SBB milik pemerintah Swiss selama 2 jam. Kereta di Swiss dan Jerman terlihat menyenangkan, seperti rambut klimis dan bersih, dibanding kereta-kereta cepat di Prancis dan Itali. Tentunya di Kota Basel tidak menjadi sia-sia. Tak jauh dari Basel, sebuah kota yang berbatasan dengan 3 negara,-Jerman, Swiss dan Prancis, dicapai dengan bis sekitar 15 menit ke utara, terdapat kota Weil Am Rhein, Jerman.
 
Di Perbatasan itu, di kota Weil Am Rhein menjadi pusat kantor Studio Vitra atau lebih tepatnya semacam kawasan kampus. Kawasan Vitra adalah kawasan produsen furniture terkenal yang berdiri dari 1950. Tahun 1980 beberapa bangunan mengalami kebakaran, dan kemudian pemiliknya mengundang arsitek-arsitek mancanegara untuk merancang beberapa bangunan di dalamnya. Sebut saja almarhum Zaha hadid, Tadao Ando, Herzog & de Meuron, Frank Gehry, Nicholas Grimshaw, Álvaro Siza hingga SANAA.
 
Tentu architectural theme park ini tidak seperti dufan atau disneyland tokyo yang glamor dan warna warni, desainnya dalam skala yang sesuai dan tidak terlihat bertabrakan satu sama lain. Yang menarik adalah bangunan yang di desain arsitek swiss herzog & de Meuron.
 
Sebuah bangunan dengan bentuk gable house yang saling silang bertumpuk, menghasilkan pengalaman ruang yang menarik di dalamnya. Hasil tumpukkan bangunan tersebut membuat satu hall kecil di tengah, menjadi ruang terbuka yang menyenangkan. Atas kejelian sang arsitek, pertemuan bahan bangunannya jadi menyenangkan untuk dilihat. Di Indonesia pelat-pelat baja setebal 2 centimeter saja sudah kemewahan. Disini juga terdapat karya Alm. Ibu Zaha Hadid. Sebuah stasiun petugas kebakaran untuk kawasan vitra. Sebuah desain yang dulu di klaim oleh kritikus arsitektur Charles Jenks dan Philip Johnson sebagai representasi arsitektur dekonstruksi. Desain yang dimulai dari gambar bak lukisan indah sang Hadid, menunjukkan energi pergerakan. Pada saat itu, banyak kritik bahwa gambarnya sulit untuk di jadikan ruang yang fungsional. Ketika terbangun, Hadid membuktikan dengan karirnya kedepan bahwa karyanya bukan hanya hasil dari “Paper Architect“, yang hanya bisa digambar di atas kertas tetapi dapat terbangun dengan indah.
 
Subuh-subuh, perjalanan dilanjutkan menuju kota kecil di Timur Perancis.
 
Gereja di kota kecil ini cukup jauh. Walaupun berada di negara Perancis, lokasinya lebih dekat dengan Kota Basel, Swiss. Dari basel butuh 3 kali perjalanan kereta lokal dengan 2 kali transit stasiun. Untuk mencapai stasiun terakhir, jadwal kereta Perancis cukup menggusarkan. Pilihan untuk memilih kota terakhir ini timbul tenggelam. Kadang muncul di jadwal kereta, kadang menggunakan bis lokal, kadang tidak muncul sama sekali. Dari stasiun terakhir ke gereja ini pun adalah perjuangan. Informasi taksi sulit didapat, pilihan lainnya adalah berjalan sejauh 2 kilometer dengan menanjak!
 
Gereja ini berada di atas bukit. Untuk mencapainya, perlu menembus hutan dan perlahan menanjak melihat sosoknya dari bawah bukit. Suster-suster berbaju hitam yang sudah berumur lanjut, mengendarai mobilnya dengan berhati-hati. Dari mobil fiat 500 la petite putih yang banyak di pakai di prancis itu keluar 4 suster. Setelah parkir di belakang gereja, mereka terburu-buru masuk dan menemui rekan-rekannya dan satu pastor untuk berdoa di kapel bagian samping.
 
Gereja ini terlihat tidak biasa, dan keluar dari bentuk kotak kubus internasionalisme yang kita kenal kebanyakan dari arsiteknya. Dasar desainnya ini menjadikan bangunan ini terdaftar dalam UNESCO’s World Heritage. Gereja ini dibangun tahun 1950 setelah hancur setelah perang dunia ke dua. Dengan material beton semua dan finish kamprot kasar, Gereja ini menyediakan satu ruang misa besar dan 3 ruang-ruang kapel khusus di dalam dan satu altar di luar. Ke empat ruang dalam ini memiliki cahaya naturalnya sendiri. Ruang gereja utama menghadirkan cahaya dari lubang-lubang di dinding yang tebal, sedangkan 3 lainnya berasal dari cahaya tak langsung dari atapnya yang melengkung secara vertikal. Atapnya yang melengkung membuatnya seperti tangan yang sedang berdoa terbuat dari plat beton yang terlepas dari dinding sekitar 10 cm. Celah 10 cm ini turut membuat orkestra cahaya di dalam gereja tanpa membuatnya berlebihan. Cahaya yang mengingatkan para peziarah yang datang tentang ketuhanan seperti keinginan arsiteknya. Gereja Notre Dame du Haut atau singkatnya Ronchamp ini menjadi masterpiece dari Arsitek kelahiran swiss, Le Corbusier. Gereja Ronchamp selain menjadi obyek ziarah para umat katolik di Perancis, juga menjadi obyek ziarah para arsitek. “J’ai voulu créer un lieu de silence, de prière, de paix, de joie intérieure” sahut le Corbusier tahun 1955-saya ingin menciptakan tempat yang tenang, hening , berdoa dan kebahagiaan dari dalam diri.
 
***
 
Bayang-bayang tentang arsitektur modern yang kontekstual oleh Le cobusier perlahan hilang oleh gegap gempita kota dan kerumitan peta kereta bawah tanah di Paris. Gambar petanya seperti mie yang di aduk-aduk dengan mangkok bernama Kota Metropolitan Paris. Setelah menumpang Train à Grande Vitesse (TGV) selama 2 jam dan berpikir keras menembus kota paris dengan kereta bawah tanah, paris selalu menjadi tempat yang membuat kangen.
 
Paris selalu meninggalkan memori yang aneh. Kota yang padat dengan bangunan-bangunan tua yang tersebar di seluruh penjuru. Manusianya yang berbahasa prancis yang sulit di mengerti. Dan pojokan-pojokan gelap, kumuh lengkap dengan bau tikus atau kencing orang yang sembarangan karena mahalnya fasilitas toilet umum dan tidak memadai di kota ini. Di luar itu Kota Paris dengan urban flaneurnya, para pria dan wanita modis, berlomba-lomba dengan pakaian terbaiknya, mencari spot-spot terdepan di teras kafe untuk dilihat dan melihat. Cobalah duduk di restoran Les Deux Magots mencoba peruntungan menjadi sekelas penulis Jean-Paul Sartre hingga Ernest Hemingway sekedar menikmati segelas cappucino dengan macaroons atau sepiring croque monsieur dimana harga duduk di teras restoran bisa lebih mahal dibanding di dalam.
 
Selain eiffel-nya yang memukau, penanda revolusi industri pada zamannya dan gerbang World Expo pada tahun 1889, Kini Paris memiliki koleksi arsitektur baru, Gedung Yayasan Louis Vuitton yang menjadi bagian dari taman Jardin d’Acclimatation. Tak cukup dengan brand-nya sebagai produsen fashion top dunia yang lekat dengan perancis sejak 1854, Keluarga Louis vuitton kini mendirikan yayasan yang mempromosikan seni dan budaya.
 
Untuk mendukung yayasan itu, ide ambisius untuk museum ini telah berjalan sejak 2006 dan selesai dibangun pada tahun 2014. Di Desain oleh Frank O Gehry, museum ini di inspirasi dari kaca-kaca Grand palais dan bangunan baja dan kaca Palmarium yang dibangun tahun 1893 di dalam Jardin d’Acclimatation, membentuk patung bunga besar yang sedang mekar ditengah taman. Tampak bangunan ini disusun sebanyak hampir 3.600 panel kaca dan 19.000 buah panel beton dengan estimasi 100 juta euro pada tahun 2006. kenyataannya Yayasan ini menghabiskan 780 juta euro yang dilaporkan majalah lokal Paris pada tahun 2017.
 
Tampaknya akhir tahun 2018 walaupun demo yang berlangsung cukup intens di Paris mengenai kenaikan BBM oleh para fête jaune, di sisi lainnya kita masih bisa lihat Paris yang padat dan chaos tetap di isi oleh wanita dan pria borjuis dengan gayanya yang trendy selalu dirindukan.
 
___
 
Ini adalah perjalanan 6 hari ke eropa yang utamanya melihat kapel Ronchamp, Prancis. Sayangnya, dalam perjalanan di Kereta Thalys, satu tas kamera saya di ambil maling, sehingga tersisa foto-foto yang sudah terpindah ke handphone.
 
Rute perjalanan saya adalah ; Amsterdam, Zurich, Basel, Ronchamp, Paris, Amsterdam. Obyek utamanya adalah Bangunan di Kampus Vitra di Weil Am Rhein yang di akses dari Basel, Gereja Ronchmap, Louis Vuitton Foundation dan Phillarmonie di Paris, Villa Savoye di Poissy luar kota Paris, dan Beberapa bangunan museum di Amsterdam seperti Stejdelijk dan Eye Museum.
 
Dibawah ini adalah beberapa foto yang sempat saya simpan.:)


 

About the author