.
17 April 2020
Seorang perempuan tergopoh-gopoh memasuki apartemennya. Dengan was-was ia tampak lega, berhasil menghindari banyak tetangga dan orang-orang disekitarnya. Dengan cekatan ia menutup pintu, menyemprot kantong belanjanya dengan disinfectan, membuka sarung tangan, membuka jaket panjangnya, meletakkannya di dalam keranjang cuci. Perempuan itu kemudian mencuci tangannya, berkali-kali mengusapkan sabun dengan cemas kemudian melepas masker yang menutupi hidung dan mulutnya. Ia bersiap untuk mandi sebelum beraktifitas kembali di apartamen.
Begitulah keadaan perempuan itu di apartemennya di New York, Amerika Serikat. Amerika Serikat baru saja menembus 2000 kematian per hari dari total hampir 35.000 kematian karena virus COVID-19 yang di duga muncul dari Wuhan, sebuah kota metropolitan di China, Januari 2020 lalu. Total infeksi virus COVID-19 telah menembus 2 juta di seluruh dunia dengan hampir 150 ribu kematian di seluruh dunia.
Kematian menjadi keseharian – seperti perang.
Kematian satu orang adalah sebuah tragedi, kematian satu juta orang adalah statistik – Begitulan Stalin menyebutnya. Setiap hari, setiap pagi dan sore, kita membaca atau melihat statistik antara jumlah kasus yang muncul, jumlah yang sembuh dan jumlah kematiannya. Berita-berita menampilkan truk-truk trailer tempat menyimpan jenasah yang sudah tidak muat, Makam-makam masal di gali untuk menguburkan korban-korban wabah yang menyebabkan Pneumonia fatal.
Kematian menjadi begitu akrab. Manusia berduka dan meninggalkan trauma. Manusia diuji, Komunitas di uji.
Pemerintah daerah di seluruh dunia berusaha membatasi pergerakan manusia. Dari kuncitara (lockdown) hingga pembatasan sosial. Kantor-kantor, sekolah, transportasi umum, hingga fasilitas publik seperti taman dan museum di batasi hingga di tutup. Jalan-jalan yang macet, jalur pedestrian yang ramai kini lenggang hingga kosong. Kota-kota terlihat mati. Semua orang terkungkung di dalam rumahnya masing-masing.
Jalan-jalan mobil terlihat kosong. Taman-taman kini tertutup rumput tinggi tidak terurus karena biaya-biaya “reguler” di alihkan untuk darurat wabah. Binatang-binatang seperti burung dan tupai menggugat kembali ruangnya, dengan menampakkan dirinya kembali di taman-taman. Festival hanami di seluruh kota Jepang yang seharusnya berlangsung dari akhir maret di tiadakan. Olimpiade Tokyo mengalami penundaan yang ke empat setelah olimpiade ketika perang dunia 1 dan dunia 2 di batalkan. Seluruh festival budaya di seluruh dunia berhenti.
Manusia dari Homo Socius yang membutuhkan hidup berdampingan dengan manusia lain kini menjadi yang seperti di kenalkan oleh Hobbes; Homo Homini Lupus. Manusia kini menjadi serigala bagi sesamanya, menjadi ancaman bagi manusia lain.
Arsitektur publik menjadi tidak vibrant. Arsitektur publik dianggap mengancam kesehatan.
..
Manusia telah di uji dengan wabah berkali-kali, dalam waktu dan peradaban yang berbeda. Wabah COVID-19 ini mengingatkan dengan pandemi wabah Spanish Flu tahun 1918-1920 yang merenggut 17-50 juta jiwa seluruh dunia.
Dalam keadaan ditengah kuncitara atau pembatasan sosial, banyak dari kita bermimpi tentang masa-masa tanpa wabah. Ruang maya; sosial media kita kini bertaburan dengan cerita masa-masa di luar pandemi. Cerita tentang masa-masa bebas manusia berkelana ke mana saja. Kita bermimpi tentang bucket-list yang kita tulis-rencanakan dan makanan-makanan yang kita rindukan.
Kita bernostalgia.
Manusia merindukan betapa beruntungnya dan bahagianya kebebasan tanpa adanya pandemi. Manusia yang bersosialisasi memenuhi jalan, taman, kota kita sebagai tanda kemajuan. Bayangan keramaian menjadi mimpi semua orang. Kantor yang sibuk, Tempat peribadatan yang penuh, Museum yang penuh, bar-bar yang berisik, jalan-jalan yang padat, hingga taman yang meriah.
Kita menganggap sebuah kejadian atau sebuah barang menjadi menarik karena ia “bertaut dengan kesadaran waktu yang kini tak ada lagi” begitulah kata Goenawan Mohamad dalam tulisannya tentang nostalgia. Arsitektur publik yang kita idamkan dengan banyak manusia yang bergerak dinamis kini menjadi momok menakutkan. Kita memimpikan keadaan arsitektur publik sebelum pandemi yang vibrant. Arsitektur yang berisi ruang dan tempat publik lengkap dengan warna-warninya, elemen seni yang melekat padanya dengan kelengkapan furnitur mengisi kehidupan orang-orang yang menggunakannya.
Nostalgia menurut Svetlana Boym dalam The Future of Nostalgia bisa menjadi produktif. Nostalgia yang “ke samping” bukan ke masa lalu. Kekayaan Nostalgia yang menginterupsi waktu yang maju.
Nostalgia sebaiknya tidak membuahkan sebuah ketakutan. Sebuah Algia (kerinduan) dan nostos (kembali ke rumah). Ketika Nostalgia terjebak pada ideologi yang melahirkan monster seperti Blut und Boden, pertalian darah dan tanah ala Nazi. Nostalgia menjadi doktrin yang melahirkan kekerasan atas fundamentalisme ras “pribumi”.
Arsitektur di Indonesia mengalami pasang surut, termasuk dengan perkembangan nostalgia arsitektur Indonesia belakangan ini. Nostalgia Arsitektur Indonesia semoga bukan ingin mengelap-lapkan sebuah kebudayaan lampau-hanya memoles agar kebudayaan masa lampau terlihat sekedar tambah cantik. Sanggupkah Indonesia mengatasi sikap sendiri yang memuja nenek moyang atau suku-agama-rasnya sendiri?
Tantangan nostalgia tampak dianjurkan Takdir Alisjahbana di awal abad ke-20 untuk bersikap rasional. Bersikap rasional seperti Descartes, meragukan semua yang dilihat dan didengar dan dengan itu “mengembangkan semangat obyektivitas” dan “menguasai teknik ilmu”.
Nostalgia menjadi ilmu untuk mengembangkan kekayaan budaya kita masa lampau, membawanya dan menggunakan keilmuannya untuk peradaban sekarang dan nanti.
…
Ditengah Pandemi, kita bernostalgia dan bermimpi. Arsitektur, baik itu bangunan publik hingga ruang publik yang aktif dan bermanfaat adalah nostalgia sekaligus mimpi kita. Apa investasi yang bisa kita lakukan untuk masa-masa setelah wabah atau ketika wabah terjadi lagi?
“Badai akan berlalu. Tapi pilihan kita sekarang akan merubah cara kita hidup tahun-tahun ke depan” begitu menurut Harari sebagai pembuka tulisan mengenai pandemi COVID-19. Bagi saya, ini adalah waktu bagi arsitek untuk berinvestasi untuk masa-masa setelah wabah yang bisa kita lakukan pada masa pandemi;
Terus ber”arsitektur” dengan-untuk kebaikan
Sesuai dengan profesi kita, arsitek, kita bisa bekerja dengan menggunakan media digital dan tetap menjaga jarak aman hingga obat dari wabahnya bisa didapatkan. Dalam waktu seperti ini kita bisa memikirkan ulang apa arsitektur yang akan kita hasilkan kedepan. Nostalgia bisa menjadi dasar pengetahuan alternatif untuk memikirkan ulang arsitektur tepat guna bagi zaman. Bagi saya, Arsitektur adalah seni kriya. Untuk mencapai kualitas terbaik, kita bisa menjalankan dengan beberapa metode, seperti contohnya dalam ajaran jawa lama; toto (tahu aturan), titi (teliti), tatag (bertanggung jawab), titis (tepat analisa), temen (jujur), taberi (rajin), dan telaten (sabar)
Bergotong royong.
The World is flat, begitulah menurut Friedman, bahwa kekuatan dunia saat ini adalah teknologi yang membuat dunia yang bulat menjadi datar dan begitu dekat berjejaring secara cepat. Yang dibutuhkan dunia ketika pandemi adalah kerjasama. Dengan data yang di miliki masing-masing negara, kita bisa bekerja sama dengan lebih cepat dan efektif. Masing-masing memberikan datanya untuk dapat di proses dan solusi dari proses data tersebut dapat lebih cepat dan disebarkan secara global. Arsitektur pun demikian, kita bisa melakukan kolaborasi untuk memecahkan masalah bersama-sama lewat kekuatan pengetahuan, data dan teknologi. Gotong royong tidak selamanya harus lewat tindakan besar, banyak sekali kegiatan sosial yang bisa di hasilkan juga untuk membantu rekan-rekan kita baik itu lewat kegiatan bantuan pangan, bantuan APD (alat pelindung diri) untuk tenaga medis, hingga mendukung usaha kecil dengan membeli dari mereka. The power of social media dalam membantu kegiatan sosial. Stop gunakan media sosial untuk penyebaran hoax yang menyebabkan mass hysteria (kepanikan masal).
Kebutuhan Energi Mandiri
Ketika wabah merebak, pembatasan sosial dan kuncitara diberlakukan, kita menyadari bahwa selama ini arsitektur bergantung terhadap energi yang di pasok dari luar dirinya. Dengan adanya pandemi maka dibutuhkan energi yang bisa menjamin pemasokan secara mandiri baik listrik dan air. Kebutuhan ini juga sangat dibutuhkan apabila terjadi anomali sistem yang lebih besar atau terkendalanya pasokan dari luar. Untuk menunjang hidup manusia yang tinggal didalamnya, arsitektur perlu berinvestasi pada kebutuhan energi dasar mandiri. Kebutuhan energi mandiri ketika wabah juga mendorong merebaknya kebutuhan urban farming secara global. Urban farming ini bisa dengan metode perkawasan atau perbangunan sesuai dengan kebutuhan dan mendukung kebutuhan pangan yang semakin terbatas. Pemasokan Energi termasuk makanan Mandiri menjadi kemewahan.
Penyempurnaan Sanitasi Komunitas/Kolektif
Melalui pengalaman wabah-wabah di dunia, terbukti sistem sanitasi komunitas yang buruk memiliki korban lebih banyak di areanya, sehingga di perlukan perbaikan infrastruktur sanitasi yang baik. Pengelolaan sampah, penyediaan air bersih yang layak adalah cara mengurangi peredaran sumber penyakit.
Arsitektur yang bernafas
Beberapa wabah menyebar dengan baik karena manusia yang tinggal di dalamnya tidak memiliki ventilasi yang baik untuk matahari dan udara natural. Beberapa penelitian seperti ketika spanish flu dan SARS, menyebutkan penanganan pasien lebih cepat sembuh dengan adanya ventilasi natural yang baik. Terlebih dengan adanya kuncitara, Arsitektur menjadi hunian kita yang menentukan bagaimana penyebaran dapat lebih memburuk juga menyembuhkan. Standar-standar ruang untuk hidup yang layak dengan bukaan-bukaan untuk bernafas perlu untuk ditinjau ulang. Bagi saya arsitektur yang bernafas di negara tropis saya tuangkan dalam pemikiran arsitektur naungan :).
Fabrikasi Digital
Keterbatasan jarak dan kesulitan metode pabrikasi bisa diciptakan dengan metode fabrikasi digital. Efesensi waktu pengerjaan bisa lebih mudah di estimasi dengan bantuan teknologi. Fabrikasi digital juga memungkinan produksi kebutuhan yang tepat guna. Fabrikasi digital juga memungkinkan arsitek bekerja secara remote, berjarak dengan sistem produksinya tetapi tetap dalam pengawasan. Produksi yang berjarak memungkinkan kita memproduksi ditempat yang tepat atau dekat dengan tempat yang membutuhkan tanpa mengharuskan arsitek hadir dalam masa konstruksi. Kita bisa lihat contohnya gerakan-gerakan mahasiswa arsitek yang membantu produksi APD hingga isolasi portable untuk pasien COVID-19 menggunakan mesin pemotong laser.
Sistem kesehatan (Rumah sakit dan komunitas) yang tanggap wabah-bencana
Wabah dan Pandemi membuka mata semua orang terhadap perbaikan sistem kesehatan untuk menghadapi wabah dan bencana selanjutnya. Kita seringkali terlena terhadap sistem-sistem ini karena bencana yang datang bertubi-tubi ditambah dengan sistem politik membuat keputusan tentang penanganan wabah ini terlewatkan ketika kondisi sudah membaik dengan cepat.
Meningkatnya kebutuhan ruang antara-Foyer-Genkan
Meningkatnya penularan dari manusia ke manusia, rumah atau bangunan kini semakin diperlukannya jarak antara tamu baru, atau orang yang tidak di kenal atau ruang transisi untuk membersihkan diri sebelum masuk kerumah. Foyer ini bisa berbentuk ruang tamu, atau ruang transisi kecil semacam genkan di apartemen-apartemen kecil di Jepang. Di beberapa rumah di Indonesia, biasanya bisa berbentuk teras, atau di rumah jawa biasanya ada pendopo joglo untuk menerima tamu.
Karl Marx pernah menyebutkan bahwa uang; “die verbrüderung der unmöglichkeiten,” membentuk “persaudaraan” dari hal yang mustahil. Apakah dengan masalah dan cita-cita yang sama dari wabah COVID-19 ini, Persaudaraan Global bisa terjadi selain uang?
Sementara itu, Tolong tutuplah ketika bersin dan batuk, cuci tangan, dan tetaplah tinggal dirumah!
*juga turut berduka atas kepergian senior, sahabat, rekan, guru kami, ahmad djuhara, 27 Maret 2020.