Awal mula
Pohon-pohon besar hijau dan rindang melambai lambai. Dua jam mini bus ini menerjang gerimis di jalur pinggir laut selatan Pulau Srilanka. Dari ujung Selatan di kota tua Galle hingga Bentota. Dari jalan tol yang sepi hingga hingar bingar kota kecil yang di isi dengan pengeras suara jedak-jeduk di dalam bis-bis lokal. Bis-bis berkaroseri Ashok Leyland dengan bentuk unik bisa kita temui sepanjang perjalanan penuh dengan dekorasi warna warni dari eksterior hingga interiornya. Dari jalan yang lebar, mini bis berbelok ke jalan sempit selebar 2.2 meter.
hanya ada satu tanda tulisan L diantara rerimbunan tanaman. Di pertigaan satu lagi, tanda L itu mengisyaratkan ke jalan kanan tanpa aspal. Mini bus yang kami tumpangi terpaksa berhenti karena terhimpit dengan jalan dan ranting-ranting pohon yang menggelayut di kanan kiri jalan.
Rintik hujan mengiringi perjalanan kaki ini. Kondisi cuaca di bulan November akhir di Srilanka menemani kami sepanjang perjalanan menumpang mini bus; dari langit yang biru terang, mendung, tiba-tiba hujan badai dan kembali cerah. Setelah berjalan selama 10 menit kami bertemu dengan gerbang beton yang besar beratap piramid tinggi melayang diatas 4 bola bulat dan diapit latar pepohonan yang rimbun berpintukan besi cor hitam besar. Di gerbang ini petugas keamanan mengingatkan para pengunjung untuk bisa senyap dan tenang sembari mengikuti tur. Tak berapa lama setelah pimpinan tur kami berbincang dengan kepala penjaga, kami di persilahkan masuk tepat jam 11.00 sesuai dengan janji temu.
Ini adalah gerbang Lunuganga. Sebuah rumah dengan luas lahan 10 hektar diisi dengan 9 bangunan terpencar. Lunuganga adalah salah satu karya terbaik arsitek Srilanka, Geoffrey Bawa. Bawa adalah seorang arsitek yang seringkali disebut sebagai penggagas arsitek modern tropis. Di Lunuganga inilah, rumah akhir pekan sang arsitek, menjadi laboratorium karyanya.
Tak berapa lama berjalan kaki menanjak dari gerbang dengan pepohonan besar dan rindang, Bawa membangun satu pavilion untuk tamu sekaligus menutupi bangunan yang ada di tetangganya. Bangunan pavilion pertama sekaligus jembatan yang menghubungkan ke lahan rumput terbuka di selatan yang terpisah oleh jalan umum. Di area selatan penghujung tapak terletak satu paviliun lagi yang menghadap ke danau sekaligus membatasi dengan tetangganya. Tak jauh dari paviliun Selatan kami berjalan menyusuri jalan umum yang rindang dan disembunyikan oleh Bawa menuju ke taman terbuka lain dengan sumber air bersih yang disebutnya taman kayu manis. Taman kayu manis ini menghubungkan dengan area taman lain yang berbatasan dengan Danau Dedduwa. Di taman utara ini kita bisa menemukan kolam Teratai yang berbentuk kupu-kupu sekaligus menghubungkan dengan paviliun utama diatasnya. Lunuganga mungkin bagi Bawa adalah sebuah drama teatrikal lansekap yang memanjakan indera ketika menyusuri bagian-bagiannya. Pertemuan landsekap dengan lingkunan binaan yang baru disusun dengan baik. Tangga-tangga dibuat mengikuti kontur tapak dan menyambung menekuk dengan tanah yang terjal sehingga terlihat cantik.
Di Lunuganga saya membayangkan ketertarikan Bawa pada konsep kebun raya yang menyimpan banyak koleksi tanaman terpilih pada lahan yang luas. Pada sudut-sudut tertentu, seperti di pertemuan tapak dengan danau atau pekarangan rumah dengan pemandangan di Batasi pagar-pagar yang kerap saya temui di danau Como, Itali. Pada lain sudut, kolam-kolam dihiasi dengan pohon-pohon berkarakter batang bagus dan diisi Teratai yang bermekaran di siang atau malam. Area perairan dan kolam Teratai ini mengingatkan saya pada lansekap yang sering kita temui di lukisan monet yang terinspirasi dari pekarangan dan kolam Teratai rumahnya di Normandy, Perancis. Kualitas pemandangan yang luas ke danau air asin Dedduwa yang bisa dinikmati dari banyak sudut tapak inilah Lunuganga menemukan artinya; “sungai asin”
Menurut banyak orang, Bawa adalah penyendiri. Di Lunuganga menurut pemandu tur, ia seringkali berjalan sendiri menyusuri tamannya, menembus halaman rumput yang luas dengan Lokasi dan tema yang berbeda. Di beberapa taman ini, dia meletakkan tempat singgah beratap yang selalu di lengkapi dengan bel. Bel-bel ini selain karena belum masuknya telfon pada masanya, juga berfungsi untuk berkomunikasi dengan staf di bangunan yang berjauhan.
Karya Bawa
Lain hari setelah menerjang jalan yang berliku dan berlumpur karena hujan lebat selama 1 jam, mini bus kami berhenti di pos. dua orang berpakaian safari hijau dan khaki lengkap dengan topi fedora ala Indiana Jones menyapa kami, mengobrol sebentar dengan supir kemudian membuka palang mempersilahkan mini bus lewat. Jalan yang tadinya berlumpur kini menjadi pecahan batu besar, lebih bersih dari sebelumnya. Tak berapa lama mini bus ini bergoyang menghindar batu-batu besar, jalan menanjak melingkar ke kanan. Samar-samar diantara hutan dan kabut, sebuah bangunan beton sederhana berbentuk garis horizontal muncul duduk diatas batu.
Hotel Kandalama adalah salah satu karya terbaik Bawa di Dambula, jantung pulau negara Srilanka. Ia duduk di atas lansekap buatan rimbun tropis dengan tanah berbatu-batu besar dan waduk buatan manusia. Lobby hotel Kandalama terlihat seperti bangunan modern yang termakan oleh tanaman pohon di atasnya. Dari posisi lobby yang tinggi berfungsi sebagai area pandang untuk melihat ke arah danau buatan Kandalama dan gunung batu besar Sigiriya. Bawa menyembunyikan kamar kamar di sayap timur dan barat dari lobby. Hotel Kandalama duduk diatas lereng batu besar yang di pertahankan oleh Bawa dalam rancangannya sehingga kami bisa menemukan bongkahan-bongkahan batu sepanjang koridor atau dalam hotel.
Dari lobby hotel, Bawa membuat satu perjalanan ke sayap timur dengan menembus lorong beton putih dengan bebatuan yang menyeruak di satu sisinya sebagai bagian dari cerita perjalanan menembus bangunan. Bangunan di sayap timur dan barat Kandalama di buat dengan prinsip arsitektur yang modern dengan garis-garis tegas sederhana. Tampak bangunan di tambahkan dengan kulit kedua yang berfungsi menjadi tempat rambatan tanaman sehingga dari kejauhan bangunan tampak menyatu dengan hutan. Kulit kedua di bangunan menjadi tempat singgah monyet-monyet berinteraksi dengan bangunan. Atap-atap dibuat untuk mengakomodasi taman-taman yang bisa digunakan untuk menikmati danau.
Di lain tempat, di jantung kota Colombo, di ujung jalan buntu gang 33 ini, sebuah rumah, lebih terlihat benteng putih berbdiri. Dengan pohon kamboja yang menjulang, rumah ini terlihat berbeda sendiri dengan pintu geser kayu yang lebar bersebelahan dengan pintu semi transparan berlukiskan karya seni seniman yang bernama Laki Senanayake. Pintu ini sekaligus memberikan cahaya natural ke dalam garasi.
Setelah menunggu tidak lama, tepat jam 15.15, Pintu terbuka dan seorang lelaki yang telah bekerja dengan Bawa selama 37 tahun menyapa kami. Kepala tur kami sudah mengingatkan bahwa jam kunjungan harus tepat waktu atau bisa saja kami di tolak untuk masuk. Pria tersebut membuka gerbang dan perhatian pertama kami adalah mobil Rolls-Royce Drophead Coupe 1934 yang sempurna bersampingan dengan Mercedes Benz 300 Adenauer limousine di garasinya.
Ini adalah rumah no 11, Rumah pribadi Bawa. Mobil Roll Royce tersebut dibelinya ketika menjadi mahasiswa arsitektur. Ketika umur 30-an Bawa seringkali membawa mobil itu berkeliling London atau ke Roma ketika akhir pekan panjang. Terakhir mobil itu digunakan ketika ia meresmikan proyeknya sendiri-Gedung parlemen Srilanka-di jantung kota Colombo pada tahun 1983.
Dalam sejarah rumah no 11, Bawa pertama-tama membeli salah satu bungalow pada tahun 1958, dan kemudian ketiga bungalow lain setelahnya. Bawa merenovasi perlahan yang kemudian menjadi rumahnya saat ini, selama 30 tahun hingga akhir hayatnya. Dari garasi depan, ada 3 pintu masuk; paling kiri ke kediamannya. Pintu tengah berupa tangga beton putih berbentuk organik dan eksotik yang mengingatkan tangga-tangga di kepulauan Yunani menyambungkan dengan paviliun tamu di lantai dua. Terakhir, pintu paling kanan berupa akses ke ruang kerjanya yang tidak dapat di akses karena sedang dalam perbaikan.
Akses masuk ke kediamannya berupa lorong Panjang dengan kejutan taman-taman kecil yang membuat dinding lantai dan langit-langit putih ini menjadi terang. Lantai rumah no 11 ini berupa beton di cat dengan epoxy yang di cat ulang setahun sekali atas amanat Bawa. Di penghujung koridor, kita akan menemukan taman terbuka lagi sebagai foyer sebelum pintu utama dibuka.
Kamar utama bawa dibuat menembuskan taman disamping. Namun pintu utama kamarnya menembus hingga ruang keluarga dan ruang duduk sampai pohon kamboja kesayangannya diluar dalam satu garis lurus. Bawa membuat rumahnya sebagai orkestra ruang-ruang yang cukup dengan bukaan untuk Cahaya dan udara natural.
Rumah no 11 berlimpah dengan karya seni yang di kumpulkan oleh Bawa dari seniman yang ia kenal dekat atau suka. Rumahnya menjadi koleksi dan hiasan dari campuran banyak budaya timur dan barat yang menjadi penting bagi Bawa. Selain karya seni, banyak karya seni atau perabot yang merupakan contoh atau mockup untuk proyeknya, disusun dengan apik di ruang dalam rumah no 11. Walaupun begitu karya seni yang berlimpah ruah di dalam rumah no 11 ini seringkali memerlukan waktu bagi pengunjung untuk mencerna maksudnya.
Geoffrey Bawa
Sambil menikmati hidangan rijsttafel di amangalla, malam ini di tutup dengan sago pudding yg kenyal dan tak begitu manis. Kami menikmati cerita tentang Geoffrey Bawa. Geoffrey Bawa lahir di Colombo tahun 1919 dari keluarga pengacara yang kaya. Bawa kemudian belajar hukum di tahun 30-an di Cambridge. Dengan kekayaannya pada tahun 1947 ia melakukan perjalanan ke eropa, amerika dan asia Tenggara. Pada perjalanan ini sebetulnya ia ingin membeli tanah luas di Itali. Namun setelah kemerdekaan Srilanka tahun 1948, ia akhirnya memutuskan membeli bekas perkebunan karet di Bentota, 1.5 jam perjalanan dari Galle, kota di Selatan Srilanka seluas 10 hektar. Dari mimpi membangun tanahnya di Lunuganga, 6 tahun setelah memilikinya, ia memutuskan kuliah di Architectural Association di London. Pada umur 38 tahun ia kembali ke Ceylon – sebutan srilanka sebelum Merdeka – memulai proyek pertamanya.
Bawa merancang arsitekturnya selaras dengan lingkungannya. Bangunan karya Bawa banyak menggunakan bahan bangunan lokal dan taman-dalam sehingga bangunan dapat bernafas. Ada cerita perjalanan dalam setiap arsitekturnya. Sebuah drama antara lansekap dan arsitektur baik ketika menuju ke bangunan atau kejutan di dalam bangunan berupa taman terbuka.
Dengan perkembangan arsitekturnya yang pesat, Bawa kemudian mulai merancang di luar Srilanka pada tahun 1970 seperti hotel Connemara di India dan pavilion di Batu Jimbar milik Adrian zecha, Sanur, Bali. Reputasi Bawa kemudian meledak di tahun 1986 ketika publikasi buku putih pertamanya terbit. Semua kantor arsitek tahun 1990an di Asia Tenggara dari Jakarta hingga Singapura diduga memiliki buku tersebut sebagai referensi. Prinsip regional Bawa menginsipirasi banyak arsitek masa kini seperti Ernesto bedmar, Kerry hill, Bill Bensley, Made Wijaya bahkan hingga generasi seperti WOHA atau Yori antar.
Bawa mungkin orang yang pragmatis; membangun setelah kemerdekaan Srilanka, maka yang perlu di cari adalah material lokal yang tersedia dan murah. Ia juga terinspirasi bentuk bangunan tradisional yang sudah terbukti secara optimal di iklim tropis. Bangunan-bangunannya nyaman secara natural, duduk diantara taman dan pepohonan.
Melampaui Bawa
Koloni Ceylon hampir bertahan selama 4 abad, Ceylon yang Merdeka menamakan dirinya Srilanka pada tahun 1948, 3 tahun setelah Indonesia Merdeka. Srilanka memiliki iklim tropis, dengan 5-6 bulan musim penghujan dengan kelembapan rata-rata 90-95 persen. Srilanka memiliki iklim yang rata-rata hampir sama dengan tetangganya seperti negara-negara asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura hingga Thailand.
Diluar kondisi politik negara di masing-masing tempat, pencarian arsitektur tropis terus di lakukan dan masing-masing tempat saling menginspirasi agar tepat guna. Di arsitektur Bawa, kita menemukan banyak sekali kemiripan elemen yang sama dengan di Indonesia untuk memecahkan masalah iklim tropis yang panas dan lembab.
Permainan Atap atau kanopi yang membentang agar hujan tidak masuk kedalam bangunan; ruang dalam yang menari dengan ruang luar atau pepohonan agar terciptanya Cahaya dan sirkulasi udara yang natural dan nyaman; hingga permainan dan ekplorasi batas untuk mendefinisikan fungsi antara ruang luar dan dalam.
“The ultimate Aman” begitulah Adrian Zecha menyebutkan dalam sebuah pertemuan di meja makan pagi dengan Geoffrey Bawa pada suatu ketika di Lunuganga. Adrian Zecha sang pendiri hotel Aman, menyebut Lunuganga sebagai “puncak ketenangan”
Kami mengunjungi dua karya Aman untuk melihat bagaimana sebuah “Aman” atau “ketenangan” berusaha di raih sama seperti Bawa mencoba mencapainya dalam kualitas di Lunuganga. Bagi kita yang baru mengenal perancangan hotel mewah, tentu perlu mengetahui bagaimana Hotel Aman terbentuk. Tidak ada yang menyangka di tahun 1980an akhir, Aman mengenalkan hotel-hotelnya yang jauh dari peradaban barat. Sebuah resort terpencil dengan 30-40 paviliun dijual dengan menggabungkan karakter tradisional dan modern. Lebih mengagetkan lagi kamar-kamarnya saat itu dijual seharga 250 usd (sekitar Rp.500.000,- dengan kurs Rp 2000.- untuk 1 usd) setara dengan sekitar 10 juta rupiah saat ini, permalam.
Hotel aman kemudian meledak, menjadi perbincangan bagi pelancong mewah pada masanya, sebuah kerinduan untuk mengunjungi kebudayaan asing yang dibungkus dengan elegan. Pada masa itu juga perbandingan antara pekerja hotel dan pengunjung 4 : 1 untuk melayani belum pernah terjadi. Hotel-hotel Aman kemudian menjadi tolak ukur yang baru untuk hotel-hotel mewah hingga sekarang. Aman juga membuktikan inspirasi arsitektur vernakular bisa diramu menjadi indah.
Di Amanwella, pendekatan arsitektur modern dapat diterapkan dengan sederhana tetapi tetap memiliki jiwa vernakular arsitektur tropis srilanka. Arsitektur Amanwella dirancang oleh Kerry hill. Masa kini kita tidak bisa membayangkan Aman membuat satu konsep dimana kamar mandi dibuat sama besarnya dengan kamar tidur lengkap dengan cahaya matahari natural. Hal yang tidak pernah di lakukan hotel-hotel mewah sebelumnya yang biasanya berupa blok-blok kamar modern dan hanya menggunakan sedikit sentuhan vernakular di dalamnya.
Bawa dan Aman, adalah Pelajaran penting para arsitek Han Awal kali ini. Ruang-ruang sederhana yang bisa melebur dengan lingkungannya atau berdansa dengan ruang hijau, membuat bangunan bernafas dengan lega. Bahan bangunan lokal sederhana yang di dapat tak jauh dari tempatnya berdiri dan dengan semangat karakter budaya yang ada di sekitarnya membuat arsitektur menjadi harmonis dengan lingkungannya.
Ruang-ruang baik di arsitektur Bawa atau hotel-hotel aman, dengan disiplin mengkontrol kesederhanaan bahan material tanpa menghilangkan esensi arsitektur vernakular setempat menghasilkan arsitektur yang elegan. Dengan disiplin dan tekad, karya-karya mereka bisa terbentuk dengan baik. Bawa juga membuktikan lewat karyanya tentang keberhasilan interaksi bangunan dengan iklim dan budaya setempat jauh sebelum Bahasa “berkelanjutan-sustainable” marak akhir-akhir ini dan menjadi sekedar jargon.