Mengenang Han awal, adalah mengenang arsitek senior dan pemilik studio arsitektur di PT Han Awal yang biasanya tanpa kami ketahui sudah berada di belakang meja komputer tanpa bersuara dan mengucapkan “selamat pagi” ketika kita menoleh menyadarinya.
Studio Pondok Pinang tahun 2005 adalah sebuah ruko yang hampir usang di antara perbatasan Bintaro dan Pondok Indah. Dua buah ruko masing-masing selebar enam meter di jadikan satu. Di hubungkan dengan tangga di tengah, ruangan para “designer” di letakkan di lantai 2 sebelah kanan, dan di ujung masing-masing blok terdapat ruang prinsipal. Satu ruang untuk Han Awal, satu untuk anaknya, Yori Antar Awal. Pak Han, begitu kami memanggilnya, ketika pagi selalu menghampiri ruang studio dahulu tanpa bersuara, memperhatikan kami, dan kemudian melanjutkan ke ruangannya.
Saya mengenal Han Awal pertama kali di tahun 2003 akhir lewat Bambang Eryudawan, dosen kami di Universitas Bina Nusantara. Saya sempat malu, karena pertanyaannya waktu itu adalah; “Siapa arsitek Indonesia yang kalian kenal dan idolakan?”, lalu Mas Yudha, memaparkan slide slide foto, dari Romo mangun, Silaban, Han awal hingga arsitek-arsitek seangkatannya di Arsitek Muda Indonesia. Bagi saya selain Romo Mangun, arsitek-arsitek yang disebutkan olehnya terasa asing. Tahun 2005 saya pertama kali bertemu dengan Han Awal di ruko pondok pinang. Hari masih pagi, dan tiba-tiba ia mengatakan “Terimakasih, Paskal, sudah mau bergabung, membantu kami.” Saya ingat sekali, saya 2005 diperkenalkan oleh Rafael Arsonoke Mas Yori untuk membantu dalam tim Sayembara Menara Maluku. Saya ingin belajar, tetapi Pak Han menyampaikan dengan sopan dan rendah hati, berterimakasih saya bergabung membantu kantornya. Begitulah perkenalan saya dengan Han Awal. Sosok yang selalu dekat dengan rendah hati dengan tutunan bicara yang sopan sekali.
Han Awal adalah salah satu mentor arsitek yang penting ketika saya magang, tentang cara belajar berpraktek menjadi seorang arsitek. Seorang modernis yang percaya bahwa arsitek harus lebih banyak berbicara gambar dan bekerja sesuai dengan etika. Etika sikap dari merancang hingga hal kecil yang penting seperti tepat waktu. Tepat waktu dalam hal pengumpulan lembar-lembar gambar hingga datang-datang ke pertemuan mewujudkan arsitektur yang terbangun.
Saya masih ingat, Han Awal setiap ada pertemuan selalu hadir sejam sebelumnya. Ketika akan berangkat pertemuan bersama ke suatu tempat, tepat 2 jam sebelumnya sudah hadir di kantor. Untuk sebuah perjalanan pesawat, 3 jam sebelum pesawat terbang, Han Awal sudah pasti hadir sebelumnya. Telat mungkin baginya adalah dosa besar, bagi arsitek yang di tempa pendidikannya di Belanda dan Jerman. Konsistensi
Bagi seorang modernis, beliau selalu menyampaikan konsep dasar yang fungsional terlebih dahulu kepada stafnya sebelum merancang. Hubungannya dengan Yori yang meneruskan kantor Han Awal mungkin bisa di bilang hubungan yang unik. Muncul perdebatan-perdebatan antara seorang Han Awal yang modernis dan Yori yang peka terhadap regionalism, yang menurutnya perlu ada sentuhan budaya yang melekat dalam modernitas di Indonesia. Dalam satu sayembara Kantor Bank Indonesia cabang Solo, dibuat 2 tim, satu tim Han Awal, satu tim Yori. Kantor saat itu sibuk sekali, karena hasil gagasan sayembara tersebut berpeluang untuk dibangun.
Dalam usia senjanya, Han awal memang banyak berkonsentrasi dalam kegiatan konservasi khususnya bangunan kolonial. Salah satu tujuan penting dalam sayembara BI Solo, bangunan bersejarah yang ada, akan di konservasi dan para pekerja akan di pindah ke kantor baru yang ada di seberangnya. Han Awal meletakkan dasar-dasar konservasi, dan harus di lakukan dengan baik dan benar pada bangunan kolonial tersebut dan menjadikan bangunan baru, sebagai bangunan dengan semangat modern. Semangat modernnya adalah bangunan 8 lantai yang fungsional, sederhana dan elegan, menjadi latar dari bangunan kolonial di sebelahnya. Ia menyampaikan bangunan kolonial sudah terlebih dahulu ada “Here I Am” katanya. Sedangkan bangunan baru perlu sikap menghormati; “yes, I know!”. Pilihannya semangat modern untuk bangunan baru bukan sifat tanpa dasar, baginya di sekitar lokasi tersebut sudah terjadi pergulatan gaya dan masa waktu yang berbeda dari bangunan-bangunan di sekitarnya. Dari Benteng Vastenburg, kantor De Jacasche Bank itu sendiri yang menjadi kantor awal Bank Indonesia di Solo, Istana Mangkunegaraan, hingga Pasar Gede. Baginya Arsitektur di sebuah tempat perlu menandakan zaman kini dan kedepan, bukan sekedar mengimitasi sekitarnya tanpa pemahaman yang baik.
Walaupun tahun 2010 rancangan sayembara Tim Han Awal sudah menang, Han Awal di usianya di awal 80 dengan tekun ke Solo untuk mengikuti rapat teknis baik untuk bangunan baru maupun bangunan konservasi. Ia juga tidak absen menghadiri presentasi-presentasi untuk menjelaskan konsep kepada masyarakat banyak yang saat itu mendapat kritik karena dianggap tidak sesuai dengan jiwa setempat. Dia mengatakan kepada mereka tentang konsep bangunan baru, “Apa salahnya dengan diam?”
Konservasi Bank Indonesia solo adalah salah satu pekerjaan dari pekerjaan konservasi lain yang banyak di kerjakannya bersama Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA). Selain Bank Indonesia Cabang Solo, Han Awal aktif berkontribusi dalam kegiatan konservasi di Gereja Katedral Jakarta, Gereja Imanuel di Gambir, Kantor Bank indonesia pusat hingga proyek revitalisasi Kota Tua Jakarta tahun-tahun belakangan. Saya masih ingat di sela-sela sebelum pembukaan pameran di Gedung kantor Pos kota tua, Han Awal mengawasi hampir setiap hari dengan cermat pekerjaan interior museum agar tidak ada yang di rusak. Konservasi bangunan Arsip Nasional menghantarkannya pada penghargaan “Award of Excellence” dari UNESCO Asia-Pacific Heritage Award tahun 2001. Dalam jalan yang sunyi dan konsisten, bersama PDA, Han Awal menerbitkan dasar-dasar konservasi dengan studi kasus Kolonial. Saya masih ingat, Han Awal bercerita bahwa judul bukunya menurut saya adalah salah satu contoh ke-rendah hati-annya, ia mengatakan buku itu bukan “pedoman” karena pedoman adalah tugas pemerintah termasuk kata “panduan”. Maka judulnya adalah “Pengantar Panduan Konservasi Bangunan Bersejarah Masa Kolonial”.
Semangat konservasinya ternyata tidak berhenti pada dirinya. Semenjak tahun 2000 awal, terjadi perpindahan kepemimpinan di Kantor Han Awal & Partners kepada Anaknya Yori. Yori kemudian mendirikan kantor baru di Bintaro dengan semangat bahwa arsitek adalah gabungan pekerjaan antara teknik dan seni, ruang kerja arsitek menurutnya perlu nyaman dan inspiratif sehingga mendukung proses penciptaan gagasan. Yori melanjutkan pekerjaan konservasi dengan caranya yang lain. Yori Tertarik dengan budaya-budaya indonesia yang kaya. Tahun 2008 sepulangnya dari perjalanan Flores dan Sumba, ia membentuk rumah asuh untuk menyelamatkan budaya dan arsitektur tradisional di Indonesia yang terancam punah. Salah satu pekerjaan awal konservasi yang sukses adalah Kampung waerebo di flores dari tahun 2008-2011 hingga menghasilkan “Award of Excellence” dari UNESCO Asia-Pacific Heritage Award pada tahun 2012.
Han Awal yang dahulu lebih banyak berbicara tentang sejarah arsitektur Indonesia dan konservasi bangunan kolonial, dengan bangga banyak meletakkan slide-slide baru tentang pekerjaan Yori. Han awal tidak berhenti di usianya yang lanjut. Ia tetap mengajar, memberikan presentasi, ikut pertemuan proyek yang di kerjakannya hingga rajin membaca email kantor dan membalasnya. Saya masih ingat, Han Awal menghargai betul keberadaan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) sebagai badan keprofesian arsitek. Arsitek menurutnya harus sesuai dengan etika profesi dan selalu mengembangkan kompetensinya. Baginya IAI adalah wadah yang formal untuk mengembangkan kompetensi. Ketika umurnya melewati 80 ia masih menyempatkan ke Medan untuk ikut pertemuan IAI dengan membeli sendiri tiketnya dan menuju bandara dengan supirnya sendiri. “saya masih butuh mengumpulkan nilai agar saya tidak kalah dengan anda, jadi dari pertemuan IAI, seminar, dari situlah saya mengumpulkannya” katanya.
Selain sebagai senior kami di kantor, Han Awal adalah sesosok bapak bagi kami semua. panggilan bapak yang melekat, adalah panggilan sebagai orang tua yang dihormati juga sebagai panggilan sebagai ayah yang lekat dengan hati kami. Setiap pertemuan yang di adakan pagi sekali, misalnya saya masih ingat mau mengambil foto aerial dengan drone di pucuk menara gereja katedral, Pak Han menyempatkan dirinya membuat roti lapis dan membaginya dengan saya. Ia juga seorang yang konsisten melakukan perjalanan dengan Bu Daisy dan mematuhi jam-jam makan, pantangan kacang-kacangan dan nasi, serta jam istirahatnya. Ia adalah sosok bapak yang menjadi panutan dan selalu bisa kami kagumi.
14 mei 2016, beberapa hari setelah ulang tahun Yori, Pak Han Awal berpulang. Yori selalu menyebut Pak Han masih selalu hadir dalam mimpinya, mengerjakan tugas-tugas dan mengawasi kantor dan pekerjaannya tanpa lelah. Bagi yang pernah bersinggungan, selalu ada kesan mendalam bagaimana Pak Han bersentuhan dengan kita, mengajarkan kami sesuatu dengan caranya yang sederhana dan rendah hati. Seorang Bapak Arsitek yang konsisten menghasilkan hasil yang mewujud dalam gerak yang sunyi. Bagi saya dan teman-teman kantor di Han Awal & Partners, Han Awal adalah seorang Ayah. Dan akan selalu seperti itu.