Jepang, Musim Semi 2023

Saya berlabuh sore ini di Pulau Naoshima saat awal musim semi menampakkan wajahnya yg hampir habis. Sepanjang perjalanan bunga putih dan pink dari pohon sakura dan plum bersilih ganti menjadi latar belakang dan depan bergantian dengan pucuk-pucuk daun hijau yang masih malu-malu muncul. 

Setelah mendarat di Haneda-Tokyo, Antrian panjang mengular dari turun pesawat hingga keluar bea cukai. Tak berhenti di situ, antrian penukaran JR pass juga lebih lama, tergagap gagap menerima antusias pengunjung internasinal untuk ber-hanami ria. Jepang baru saja membuka kembali perbatasan untuk turis. Pihak imigrasi pemerintah jepang pun masih berusaha mencari metode terbaik untuk mencegah wabah persiapan setelah pembukaan kembali pembatasan perjalanan karena covid-19. Tak heran antrian panjang di bandara Haneda adalah akibat waktu perjalanan sekarang. Akhir maret hingga awal april, jepang memasuki awal musim semi yang berarti tumpah ruah turis karena musim puncak liburan, di tandai dengan cantiknya bermekaran bunga sakura di seantero negeri.

Setelah pengurusan Japan Rail Pass di bandara Haneda, perjalanan di lanjutkan ke Okayama dengan kereta cepat shinkansen selama 4 jam. Lepas dari Okayama, perjalanan berlanjut dengan kereta lokal ke Uno untuk kemudian menyeberang ke pulau Naoshima. Perjalanan kereta dihiasi dengan pemandangan gunung-gunung yang mulai hijau dan seringkali berhiaskan putih-merah mudanya Sakura. Mendekati kota kecil Uno, pemandangan ini berubah dengan latar laut yang tenang lengkap dengan kepulauan Setouchi. 

Pulau Naoshima bersemayam di sisi selatan Osaka-Kyoto, Ia tersembunyi di apit oleh pulau besar Honshu dan Shikoku sehingga lautnya seringkali tenang. Naoshima semenjak 1910 merupakan daerah industri tembaga. Perusahaan Pendidikan Benesse yang bertempat di Okayama memulai revitalisasi pulau Naoshima sejak akhir 1980 melalui pendekatan seni dan arsitektur.

Setelah 30 tahun, pulau kecil Naoshima dengan bentuk perbukitan yang indah kemudian menjadi kanvas arsitek seperti Tadao Ando sebagai tempat tinggal karya seni hebat sekaliber Claude Monet hingga James turrel.

Claude Monet adalah seorang pelukis berkebangsaan Perancis yang menggambar dengan gaya pendekatan yang spontan, teknik pewarnaan berpendar, dan terlihat seperti momen yang bergerak. Pada zamannya gaya lukis Monet merupakan pemberontakan disaat seniman lainnya menggambar dengan pendekatan realis, lugas, garis yang pasti dan lebih banyak pesanan gereja atau tokoh terkenal. Monet memilih melukis pemandangan yg berkesan bergerak hingga disebut sebagai pelukis impresinonis. Sebutan gaya impresionis disematkan dari judul lukisannya yg termasyhur “impresion, sunset

Di museum Chicu, Naoshima, 5 karya Monet terpajang. Water lily terpampang di ruang kotak bersih dengan lantai mosaik berbahan dasar marmer carara ukuran 2×2 cm dan dinding putih. Pengunjung diminta menggunakan sandal yg disediakan oleh museum agar tidak mengotori lantai. Lantai terasa empuk dan dingin, ditambah cahaya alami dari atas membuat karya ini terlihat berbeda-beda sesuai dengan cara penggambaran Monet yg mengambil impresi cahaya pada saat dibuat lukisan tersebut. Ruangan yang seluruhnya putih dilengkapi cahaya alami yang tak langsung membuat pengunjung secara maksimal menikmati karya Monet. Di museum Chicu tak hanya lukisannya Monet saja yang terpampang. Sebelum masuk ke bangunan museum, kita bisa menikmati taman ala Jardin d’eau atau taman air. Taman ini dibuat sedemikian rupa menggambarkan halaman rumah Monet di Normandy, Perancis, tempat sang maestro mendapatkan inspirasi lukisan seri water lily.

Tak hanya Monet, di museum Chicu karya seniman hebat lainnya adalah karya James Turrel. Turrel adalah seorang seniman yang lulus dari jurusan psikologi. Turrel tertarik pada konsep bagaimana memanipulasi cara mata dan otak manusia memproses cahaya dan ruang. Ada 3 karya Turrel di museum Chicu yaitu; Afrum, Pale Blue, 1968; Open Field, 2000; Open Sky, 2004. Pale blue adalah salah satu karya proyektor yang di tembakkan ke sudut ruang. Karya Pale Blue bertujuan membingungkan persepsi mata kita dalam memutuskan apakah yang kita lihat hanya tembakkan proyektor atau bentuk 3 dimensi. Bagi saya yang paling dahsyat adalah Open Field. Open field adalah perjalanan persepsi visual. Pertama kita masuk kedalam ruangan melihat layer berwarna biru yang pekat, namun ternyata pengunjung bisa masuk kedalam layer warna biru tersebut dan di dalam ruangan, warna akan berubah-ubah membuat kita limbo. Di dalam karya open field, persepsi pengunjung di bingungkan dengan mengisi seluruh bidang penglihatan dengan warna solid yang berubah-ubah. Di dalam karya Open Field, otak seperti kekurangan sensor dan terkadang menjadi mual atau halusinasi. Melihat karya Turrel mengingatkan kita tentang fakta bahwa segala sesuatu yang kita lihat dibangun oleh otak kita dan semua yang kita lihat adalah ilusi. Apa yang kita alami hanyalah penggambaran ulang mental.

Karya Monet dan Turrel di museum Chicu secara apik di tata dalam bangunan yang di desain oleh arsitek maestro Tadao Ando. Di pulau Naoshima karya Tadao Ando selain museum Chicu adalah; Museum Lee Ufan, Galeri lembah hingga museum tentang perjalanan karirnya sendiri. Tadao Ando adalah arsitek Jepang yg lahir setelah perang dunia kedua. Setelah SMA, Ando bekerja sebagai petinju dan berubah arah ingin menjadi arsitek setelah mengunjungi Hotel Imperial yang di rancang oleh Frank Llyod Wright di Tokyo. Tadao Ando kemudian mengambil kursus-kursus dan melakukan perjalanan melihat arsitektur di Eropa sebelum kembali dan membuka kantornya sendiri di Osaka tahun 1968.

Di perjalanan ke Jepang tahun 2023 ini, saya menyelami ulang dan karya baru dari Arsitek Tadao Ando. Selain di pulau Naoshima, di Sapporo-Hokkaido saya bertemu dengan 4 karya Tadao Ando; Bukit Budha; Museum literatur Watanabe Junichi, toko kue Sakiko-kitakaro, dan Gereja di atas air pada bulan maret. Sementara karya lainnya di bulan April di museum memorial Shiba Ryotaro di Osaka, dan Garden of Fine art di Kyoto.

Tadao Ando memiliki gaya arsitektur tersendiri. Ia menciptakan identitas sendiri yang ia sebut efek Haiku-dari gaya puisi jepang. Rancangannya disebut untuk menekankan ketiadaan dan ruang kosong sehingga dapat merepresentasikan keindahan dari kesederhanaan. Kesederhanaannya dari arsitektur Tadao Ando ditekankan pada pengalaman dan sensasi indera pada ruang. Pendekatan ini yang membuat Ando lebih banyak menggunakan kesatuan bahan beton pada rancangannnya untuk mencapai sensasi bersih dan ringan(walaupun terlihat berat). Pemilihan bahan beton seringkali disebut juga sebagai awal pilihan Tadao Ando karena ketersediaan yang cepat dan banyak setelah perang dunia kedua di Jepang. Tadao Ando juga menekankan hubungan arsitektur dan lingkungannya. Tadao ando menginginkan bangunan yang bisa membuat penggunanya dapat menikmati semangat dan keindahan dari tapaknya berada. Konsep ini terlihat jelas dalam seluruh karyanya dengan menghadirkan ruang sekaligus sirkulasi pencapaian sebelum fungsi utamanya. Ruang pencapaian atau sirkulasi ini berusaha memperlihatkan hubungan arsitektur-betonnya dengan alam sekitar. Di Chapel on the water di sapporo-Hokkaido, untuk mencapai ruang doa utama, pengguna akan berjalan dahulu menelusuri tangga naik menuju kotak kaca dilengkapi 4 salib di keempat sisi dengan pemandangan yang menakjubkan ke arah gunung salju. Selesai dari ruang kaca ini, pengguna akan turun ke tangga spiral yang gelap. Dari tangga, pengguna akan mencapai ruang doa yang terbingkai lebar dengan pemandangan kolam yang luas ditambah salib di ujungnya dan dikelilingi pepohonan. Ruang doa terasa sebagai ruang kontemplasi yang tenang dan fokus.

Lain Ando, kami mengunjungi juga museum Teshima di pulau Teshima. Pulau Teshima masih dalam area kepulauan Setouchi, 20 menit perjalanan kapal dari Pulau Naoshima. Museum Teshima adalah hasil kolaborasi antara seniman Rei Naito dengan arsitek Ryue Nishizawa. Bangunan museum Teshima menyerupai bentuk tetesan air di tengah sawah. Mungkin museum Teshima membuat standar baru tentang museum, ia tidak ada apa-apa didalamnya, tidak ada karya seni yang terpampang. Secara struktural, museum Teshima terbuat dari cangkang beton tanpa kolom dengan dimensi sekitar 40×60 meter dengan 2 bukaan oval bercat putih. Di dalam museum Teshima ini terdapat mata air yang terus menerus keluar perlahan dari lantainya dan bergerak sepanjang hari. Perpaduan gerakan air, perubahan suara-angin-cahaya alami dari bukaan oval menjadi harmoni rangkaian pengalaman ruang yg berubah-ubah sepanjang tahun. Alih-alih melihat sebuah pameran karya seni, di museum ini, pengunjung diminta kontemplasi di ruang indah dengan elemen-elemen alami; cahaya, udara dan air.

karya Ryue Nishizawa ini juga saya rasakan di kota Kanazawa pada bulan april. Kota Kanazawa dapat di akses 2.5 jam dari kota Tokyo dengan kereta cepat shinkansen. Seperti pada desain museum Teshima, di Museum Kanazawa, Nishizawa bersama partner kantornya di SANAA, Kazuyo sejima membangun arsitektur dengan ideologi bahwa yang artifisial adalah bagian dari alam. Nishizawa membuka diri pada konstruksi buatan dan membuatnya menjadi perpaduan yang halus-tak kentara antara arsitektur dan lingkungan sekitarnya. Museum Kanazawa berkonsep “Museum open to the city like a park“. Bangunan dibuat secara horizontal-terpisah pisah menyerupai blok-blok bangunan di kota dengan warna kontras-putih yang berbatas kaca melingkar. Kaca berfungsi menembuskan lingkungan sekitar dan interiornya sehingga terasa tak asing terhadap pengunjung dan terasa menjadi bagian dari taman yang satu.

Kepulauan Setouchi adalah salah satu keberhasilan bagaimana seni dan arsitektur mengubah citra tempat. Seni dan Arsitektur adalah nilai tambah. Ia menjadi identitas dan melipatgandakan nilai sebuah tempat. Setelah berdiri, melalui publikasi internasional dan kegiatan festival pertiga-tahunan, 1 juta pengunjung hadir di Setouchi Triennale ke-4 tahun 2019 sebelum pandemi. Bertambah 400 ribu pengunjung dari kegiatan serupa di tahun 2016.

Efek yang sama juga terjadi di Paris. Lebih dari 130 tahun lalu, Menara Eiffel berdiri. Pada tahun awal pembukaan, ia sukses menarik 2 juta pengunjung. Kini 30 juta pengunjung setiap tahun paling tidak berkunjung ke Paris menyumbangkan minimal 10 miliar dollar amerika sebagai devisa. Menara Eiffel menjadi monumen paling banyak dikunjungi di seluruh dunia. Tak berhenti di menara Eiffel, 50 tahun lalu pemerintah kota Paris juga sempat merevitalisasi kawasan Paris yang kumuh menjadi pusat seni dan budaya; Pompidou Center. Keberhasilannya merubah citra kawasan ini bahkan di sanjung oleh juri Pritzker Prize untuk arsiteknya, Richard Rogers, “revolutionised museums, transforming what had once been elite monuments into popular places of social and cultural exchange, woven into the heart of the city”. Eiffel effect kemudian menjadi impian seluruh pemimpin kota di seluruh dunia.

Di Indonesia, beberapa kepala daerah sudah memiliki visi bahwa seni dan arsitektur menjadi bagian dari peningkatan kualitas infrastruktur kota. Sebut saja mantan bupati Azwar anas di banyuwangi, mantan walikota Bandung Ridwan kamil, mantan walikota Joko widodo di solo, hingga Umar ahmad, mantan bupati di Tulang bawang barat-Lampung. Melalui visi mereka, para pemimpin daerah ini menggunakan seni dan arsitektur sebagai kendaraan perubahan kotanya. Infrastruktur dibangun dengan memperhatikan kreativitas dan kualitas yang baik. Selain membangun infrastruktur para pemimpin ini juga mendorong kegiatan seni dan budaya. Sebagai contoh dalam periode kepemimpinan Azwar anas di Banyuwangi, kunjungan wisatawan domestik yang pada tahun 2010 hanya 400 ribu pertahun melonjak menjadi sekitar 5 juta pengunjung pertahun di tahun 2019. Kegiatan masyarakat banyuwangi juga bertambah, dari 12 kegiatan per tahun di 2012 menjadi 120 festival dan kegiatan di tahun 2019.

Tak berhenti di kepala daerah, kegiatan seni dan budaya untuk mendorong ekonomi kota juga banyak di lakukan oleh sektor perorangan. Sebut saja kegiatan festival seni Artjog di Yogjakarta yang di inisiasi oleh Heri Pemad hingga Bintaro Design District yang di inisiasi oleh Andramatin, Budi Pradono, Danny Wicaksono dan Hermawan Tanzil. BDD menjadikan Bintaro-kota satelit di luar Jakarta-yang kini banyak diisi kantor-kantor kreatif baik studio desain hingga arsitektur menjadi wadah festival seni dan arsitektur per-dua tahun yang tersebar di seluruh kawasan Bintaro.

Ke Pulau Naoshima dan pulau-pulau tetangganya, sebuah perjalanan yang menjauh dari hiruk pikuk pusat-pusat kota Jepang. Sebuah pulau yang kini bertebaran karya seniman dan arsitek, sebuah surga bagi pecinta seni dan arsitektur. Bahkan mungkin pada saat festival tiga-tahunan, persebaran karya seni yang berlimpah membuatnya tidak cukup 3 hari untuk di telusuri. Kegiatan festival seni di pulau Naoshima atau sejenisnya di Indonesia menyadarkan kita tentang peluang kreatif pada sebuah tempat. Kreatif seni dan arsitektur bisa menjadi identitas dan membantu menaikkan kualitas lingkungan. Diluar itu, keterlibatan masyarakat sekitar menjadikan mereka lebih percaya diri terhadap potensi tempat mereka sendiri. Di Pulau Naoshima dan di tempat-tempat seperti Yogyakarta, anak-anak lebih termotivasi untuk belajar bahasa inggris. Mereka ingin terlibat lebih dalam dan diawali ingin terlibat dalam merespon tamu-tamu mancanegara. Masyarakat sekitar dari kegiatan ini juga ikut termotivasi dan menghargai seni dan arsitektur ini karena pada akhirnya tumbuh hidup bersamanya.

Sama seperti saya, Claude Monet mendapatkan inspirasi dari karya-karya seni jepang khususnya karya seniman Hokusai. Saya melihat jepang sebagai saudara se-Asia yang menginspirasi bagaimana dalam rentang waktu yang singkat dari perang dunia kedua bisa tumbuh dengan cepat dan menjadi super modern tetapi tetap bisa mempertahankan budaya dan alamnya.

Kachoufugetsu

 “Alamilah alam, dengan demikian belajar tentang diri kita sendiri.” — pepatah jepang.

About the author