estetika yang terpendam : tantangan arsitek muda Indonesia

Ditengah hiruk pikuk menjelang Idul Fitri 1429 H, Jakarta justru mengalami perubahan kota yang begitu signifikan. Perubahan yang terlihat jelas, dimana kita justru dapat menikmati kesunyian dan nyamannya tinggal dalam kota yang terasa lebih bersahabat. Tanpa macet misalnya. Dalam gelap menyambut disertai Adzan Magrib membuka batalnya puasa manusia manusia sekeliling saya, jalanan terlihat lebih lebar dan warna warni kecepatan mobil dan lampu lampu bangunan tinggi Jakarta lebih terlihat indah. Geliat geliat pembangunan bangunan baru terlihat lebih jelas. Semut semut yang tadinya berkumpul mencari gula ekonomi telah tersebar kembali ke asalnya sementara.

Di tepi jalan sudirman baru saja selesai Mall FX layaknya Cineleisure di Singapura sebagai tempat berkumpulnya anak-anak muda Jakarta. Di tempat lain kegiatan bangun membangun mall baru dan mixed used seperti Kemang Village, Gandaria Heights, Podomoro City dan lainnya turut serta berhenti. Teronggok, ter pause sementara. Siapakah pemegang kapital Jakarta saat ini? Dan siapakah arsitek-arsitek dibelakang layar terbentuknya kota kota kita? Orang kitakah? Atau orang luarkah?

Ditengah bergeraknya peradaban manusia saat ini, kita sedang berjalan menuju satu revolusi baru yang baru saja dimulai pada tahun 60-an ketika terjadi peluncuran satelit informasi ke orbital bumi kita. Perubahan dramatis yang mengubah pergerakan dunia. Revolusi teknologi informasi, sistem ekonomi global dan weightless economy yang diklaim oleh Manuel Cartens (1994) sebagai produk ekonomi baru. Sebuah pergerakan kapitalisme dan imperialisme baru yang siap melibas siapa saja yang tidak dapat bertahan dalam gerakan mega besar tersebut. Lain sisi, kini dunia terbelah dua, terbelah menjadi kaum buruh dan kaum pemilik modal (Marx, Karl).

Arsitek muda kita sekarang masih berada di kaum buruh, dimana seharusnya kaum kreatif dapat menjadi pemegang sistem ekonomi baru, weightless ekonomi yang memiliki sebuah kekuatan besar yang terus merangkak naik melibas segala kegiatan industri dan agrikultur, berusaha menjadi kaum pemilik modal. Kaum kreatif pada dasarnya memiliki potensi besar dalam weightless economy yang dapat bebas beputar dalam kekuatan besar teknologi informasi, kekuatan yang dapat dengan cepat bergerak dan mengambil posisi dalam ekonomi global. Bahkan menurut Anthony Giddens, direktur london school of economics (1999), segala weightless economy ini mengakibatkan transaksi berbasis non-stop 24 jam ini mengalami percepatan yang sungguh luar biasa dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir.

Dalam pergerakan pergerakan ini, Indonesia seharusnya bisa merangkak naik. Sebagai pemilik modal kekuatan daratan, lautan dan budayanya, kita seharusnya dapat menjadi sebuah energi potensial besar yang bisa meledak dan menghancurkan keangkuhan dunia barat. Indonesia dengan segala keunikan dan ragam budaya harusnya bisa menjadi bangsa yang terdepan. Belajar bagaimana menjadi bangsa yang revolusioner, berarti mengenang ketika awal tahun tahun kemerdekaan, disaat kita membangun kota kita dan dipandang oleh dunia barat sebagai kekuatan besar yang menakutkan. Tak beda dengan China yang telah membangun kotanya untuk olimpiade. Kita berada dalam jaman yang membutuhkan inovasi yang terus menerus.

Dan bila kita dapat melihat kembali ke negeri kita, kita adalah rajanya!

“Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.” (Pramoedya Ananta Toer:bumi dan manusia,199). Kata kata ini sangat berharga karena bilamana sebagian bahkan seluruh pemuda indonesia dapat berpikir dan merefleksikan kekayaan negeri kita, maka BOOM! Datanglah kekuatan ekonomi kita, datanglah kekuatan baru yang siap menggantikan ekonomi baru dunia kreatif, dari sebuah daratan yang di klaim oleh Prof. Arysio Nunes Santos sebagai dunia atlantis yang telah lama hilang.

Kita punya bumi, kita punya daratan, kita punya bencana yang mendatangkan kesuburan dan kebudayaan, dan kita memiliki manusianya sebagai penggerak tangguh yang telah diuji lebih berat oleh alam dan waktu!

Lalu bagaimana peluang arsitek kita dalam menanggapi kenyataan ini?

Kekayaan bangsa ini, bila kita lihat satu persatu, mungkin tak habis dalam umur hidup kita untuk belajar tentangnya, dari material, genius loci, dan hasil budaya estetik kita yang memiliki arti sangatlah tak terbatas. “saya lebih suka menggunakan satu material khas Indonesia sebagai aksentuasi dalam kesederhanaan yang indah, sehinga arsitektur bisa terlihat elegan dan eksplorasi menjadi tak terbatas dalam waktu ke waktu.” ucap Andra Matin, menjelaskan eksplorasi yang tak terbatas dari arsitektur indonesia.

Masalah elegansi ini menjadi tantangan kita menjawab bagaimana arsitektur kita terbentuk. Salah satu cara adalah dengan jalan melihat sebuah arsitektur sebagai pencarian (research) yang berlandaskan materialisme (ke-ada-an), dialektika (pertentangan), dan logika (bukti) dengan meminjam cara pandang Tan Malaka melihat budaya kita. Arsitektur sebagai produk budaya yang berwujud kemudian bisa tumbuh sesuai dengan akal sehat dan dipertanggung jawabkan sebagai karya seni ilmu (science). Dalam menjawab kebenaran estetika arsitektur yang objektif, meminjam pendapat Karl Marx terhadap Feurebach, seharusnya kebenaran itu dilihat dari ilmu kesegiannya dalam membuktikan kebenarannya. Sehingga dalam melihat karya arsitektur kita selayaknya melihat bagaimana sang arsitek mengambil acuannya(ke-segi-annya), karena perdebatan dari pemikiran yang terasing merupakan soal acak (skolastik). Kita bangsa Indonesia hanya memerlukan pendidikan untuk mengujinya.

Saya melihat kecenderungan pencarian (research) desain arsitektur bangsa kita tidak semata menjadi eksplorasi programatik. Bukan lagi sebagai mesin mesin sebagai tempat tinggal mengutip Adolph Behne (1923) tentang “ the modern functional building” bersikukuh bahwa “architecture is no more than a fixed and visible structure of the final organisation of every movement, every occupation, every purpose and use of the building”, tetapi ada lain hal seperti budaya yang melingkupi tempat arsitektur itu bersemayam. Justru arsitektur modern adalah sebuah subyek yang mengarahkan jawaban atas kepadatan lingkungan perkotaan dari kependudukan industrialis, dan memposisikan dirinya tidak lagi dalam sekedar fungsionalisme namun jauh ke sebuah rangkuman bentuk kompleks yang mengadaptasi seni, lingkungan, ritme pergerakan pendudukan, kebutuhan generator akitifitas kota dan segala keragaman aktifitas yang melingkupi arsitektur tersebut. Ini lah yang menjadi kekuatan arsitektur kita, sebuah masalah yang chaos dan bertumpuk, sebuah penyelesaian atau mediasi yang akan menghasilkan keragaman tinggi di arsitektur kita.

Didukung dengan perkembangan teknologi informasi, kekuatan ini bisa dengan cepat menyebar, dan bisa menjadi kekuatan besar kita. Justru tantangan arsitek kita adalah bagaimana eksplorasi desain dan penyebaran informasi dapat memposisikan arsitektur kita dalam kancah globalisasi. Perkembangan perkembangan teknologi informasi arsitektur memudahkan kita mendigitalisasikan dan melogikakan bentuk rumit kreatifitas original budaya kita. Produk produk piranti lunak bersistem building information modelling, 3d modelling dan drafting, scripting, dan kemampuan simulasi struktur dan fisika bangunan telah berkembang pesat memberikan kemudahan kita untuk berkreasi dari sebuah keganjenan menjadi logika matematis yang mudah diterima sebagai bangunan yang realistis. Bahkan dikatakan oleh Raymond Kappe(2000) seorang arsitek, Amerika serikat telah mengkomputerisasi hampir 100 persen kantor arsiteknya untuk efesiensi dan kemudahan proses desain arsitektur baik dalam pencarian (research), desain, drafting, hinggga kemudahan desentralisasi pekerjaan sehingga sebuah arsitektur bisa dikerjakan secara remote dan dimobilisasi secara mudah. Transaksi desain arsitektur menjadi keunggulan ekonomi yang baru dan potensial.

Piranti lunak menjadi kekuatan baru arsitektur setelah sebuah ide dan sketsa tangan berlanjut. Sebuah pendekatan logika arsitektur mejadi mudah, ketika kita dapat memahami dan mengerti logika matematis bahkan efek dan cara kerja piranti lunak tersebut. Dalam perkembangannya, kita bahkan dapat merancang sebuah jutaan kemungkinan desain parametrik berdasarkan kebutuhan programatik ruang yang diperlukan kota atau arsitektur kita. Bentuk bentuk kekayaan kerajinan hasil budaya kita yang dikenal tak bersudut dan hasil keganjenan kultur tangan bahkan dapat di logiskan sehingga terwujud dalam bahasa yang modern. Tanggung jawab arsitektur berikutnya terbagi menjadi nilai seni yang tinggi (high art) atau menjadi tendensi yang telah ada (mainstream), dengan mengutip Patrik Schumacher tentang pilihan kita sebagai arsitek, “The sole responsibility of the avant garde architect is to innovate…. The responsibility of the mainstream architect is to adopt what can be adopted according to circumstance.” meminjam metode retroactive Rem Koolhas, inovasi bukanlah selalu baru dan berbeda, tidak semuanya berjalan kesana. Kemungkinannya seharusnya berhubungan dengan realita, dan dengan gamblang “Innovation might be hidden in the – ugly – deviations of commercial development”. Dan semenjak arsitek arsitek hebat adalah inovator radikal, inilah saatnya kita bergerak dalam kekuatan baru, kekuatan kreatif dengan daya dukung teknologi informasi yang besar menuju kancah global.

proposal desain sayembara menara jayapura yang diambil dari menara perang

dan ukiran tradisional setempat, dikembangkan dari sketsa tangan

dan di komputerisasi sebagai rasionalisasi desain,

copyright Han Awal Partner & architect 2008

(Yori Antar, Paskalis Khrisno, Rafael Arsono, Noviardy Prasetya)

proposal sayembara menara jayapura, copyright Han Awal Partner & architect 2008

(Yori Antar, Paskalis Khrisno, Rafael Arsono, Noviardy Prasetya)

Keunikan adalah harga yang tiggi, kita sebagai bangsa yang besar tak terbatas keotentikan negeri dan budaya kita. Bukan lagi sebuah kebiasaan dan dogma tentang morfologi arsitektur yang telah ada, namun pencarian (research) desain arsitektur yang berwujud pada tingkat material dan bentuk yang di landasi pada penilaian pola sosial baru dan dengan memanfaatkan budaya kita sebagai estetika yang terpendam, teknologi informasi sebagai logisisasi desain dan jejaring internet sebagai media weightless economy jalan menuju dunia global, semoga kita dapat menjadi bangsa dengan arsitek yang besar!

Mengadaptasi dari Tan Malaka untuk teman teman arsitek muda,

Di tanganmu tergenggam Kemerdekaan-Indonesia, yakni Kekapaan, Keselamatan, Kepandaian dan Peradaban…

Kamu Kaum Revolusioner !!

Kelak Rakyat keturunanmu dan Angin Kemerdekaan akan berbisik-bisik dengan bunga-bungaan di atas kuburanmu: “Disini bersemayam Semangat Revolusioner“

Paskalis Khrisno Ayodyantoro
Bintaro, menjelang sumpah pemuda 28. Oktober 2008

About the author