[1]
Seperti siang pada musim panas biasanya, ya Siang ini sedang panas sekali, beberapa orang tampak lalu lalang menghindari teriknya matahari dibawah bayang toko toko kecil di sampingnya, terasa debu berterbangan dan kendaraan berhenti macet, sehingga menambah alasan bagi orang orang yang lalu lalang menjauh dari area panas tambahan dari kendaraan dan aspal merapat ke dinding dinding toko. Jalan cihampelas ini begitu kecil, utilitas jalan yang tidak lengkap dibuat dengan aspal sebesar 6 meter dan kemudian langsung trotoar sebesar 1 meter dan got menambah padatnya jalan. Jalan-jalan kita kemudian menjadi faktor penambah urban heat island, menambah panasnya kota bahkan benua kita.
Komentar seorang ibu pada satu hari dengan kesal berkata, “jalan jalan ini semua ditempati oleh kendaraan bermotor, termasuk trotoar, kalau bukan warung tenda, motor dengan kurang ajar cari celah masuk trotoar karena jalan yang macet, lalu kemana kita mau jalan?” dan dengan terbiasa kalimat ini kemudian menjadi keseharian penduduk kota kita.
Begitulah jalan jalan di bandung, Jakarta dan kota kota besar kita saat ini, seperti lupa oleh perencananya, jalan dengan lebar 7-8 meter seringkali habis hanya untuk aspal kendaraan bermotor, pohon-pohon dan pedestrian justru mengalah dengan kendaraan bermotor. Pohon bahkan kadang hidup tanpa resapan dan area yang cukup untuk berkembang, karena kadang tertutup aspal atau beton langsung. Urbanis, Charles Landry bahkan mengatakan dominasi kendaraan termasuk mobil membuat pengalaman indera kita didominasi oleh aspal dan metal, dan lebih lebih, pengalaman kita tak acuh terhadap detail landsekap kota, manusia enggan berinteraksi, kota kehilangan vibrasi dan kehidupannya.
Masih ingat sosiolog, ibu Jane Jacobs dalam kritik pedasnya tentang kota kota Amerika, bahwa mobil mobil adalah musuh, penyebab dari kota yang sakit, ditambahkan olehnya jalan jalan yang di dominasi tempat parkir adalah instrumen yang nyata untuk menghancurkan kota
[2]
Bandung pada tahun 2009 memiliki jalan raya sepanjang 1200 KM dalam kota, bayangkan dengan jumlah seperti itu bandung memiliki 45 juta kendaraan kecil dan 4.9 juta kendaraan besar didalam kota bandung. Belum lagi ditambah 60.000 kendaraan yang masuk kota bandung ketika akhir pekan. Jumlah kendaraan ini bila satu waktu turun ke jalan semua, maka dibutuhkan 24.500 KM jalan raya, atau setidaknya kita membutuhkan 9800 kali lagi Jembatan Pasupati untuk menampung kendaraan ini. (gatra)(seputar indonesia)
Ada yang hilang ketika jalan jalan ini di buat, mereka dibentuk untuk mengakomodasi kebutuhan jumlah kendaraan, semakin tinggi jumlah kendaraan, semakin banyak juga dorongan orang untuk memiliki dan menggunakan kendaraan. Padahal dalam penggunaannya ruang ruang jalan ini seharusnya bisa menjadi ruang publik dan sosial kota kita.
Kota menurut Richard Florida menjadi panggung aktifitas penduduknya, Kota juga menentukan pilihan kita untuk tinggal, sehingga kota yang terbuka dengan kreatifitas, kota dengan utilitas publik yang baik, akan meningkatkan ekonomi kotanya secara signifikan. Menurut Florida kemudian, mobil mobil belakangan ini menjadi tanda ketakutan dan hilangnya kepercayaan kita terhadap kota adalah masalah dasar dalam segitiga kebutuhan dasar kota –maslow yang harus di selesaikan.
Menurut Allan B. Jacobs, jalan jalan ini berfungsi sebagai interaksi sosial penduduknya, menciptakan ide ide kreatif, dan revolusi sosial bahkan jalan jalan tersebut merangsang penduduknya untuk beraktifitas dan berkegiatan bersama. Seperti dalam buku Great Streets-nya Allan Jacobs, ia menyebutkan jalan yang baik memiliki kualitas spasial yang baik, merangsang untuk beraktifitas urban dan bersosialisasi diatasnya
[3]
Dalam contoh kota kota dunia, kita bisa melihat bahwa jalan jalan pedestrian utama kini menjadi landmark suatu kota, Jalan pedestrian yang menjadi saksi sejarah di Barcelona, Las Ramblas, justru menjadi satu kawasan pejalan kaki yang mendefinisikan kotanya. Kita juga masih ingat jalan jalan utama di Mesir menjadi saksi dan tempat penting revolusi sosial yang terjadi di negaranya. Kota kota dunia kini bakan berlomba menciptakan jalan sebagai Placemaking, usaha meningkatkan kualitas kawasan baik sosial, dan ekonomi yang kini menjadi gerakan internasional.
Dari Buchanan st. di Glasgow, Camden High st di Inggris, Jalan Orchard di Singapura, hingga Rue Mouffetard, dan Champs-Elysees di prancis yang berlomba meningkatkan kualitas pedestrian, melalui material jalan, aksesibilitasl, utilitas, dan kenyamanan pedestriannya, Bahkan jalan Strøget di Copenhagen yang konon memiliki pedestrian dan meja kopi terpanjang di dunia pada tahun 1976. Jalan jalan ini memiliki kualitas pedestrian terbaik, meningkatkan interaksi sosial dan menciptakan akitifitas kota yang positif.
Selain dari luar negeri kita boleh berbangga kita memiliki contoh yang baik di Solo, Jawa Tengah. Jalan Diponegoro sebagai koridor utama jalan dari Bangunan Puro Mangkunegaran yang dahulu dipenuhi oleh ruko ruko yang sebelumnya mepet dengan Jalan kini dibongkar dan menghasilkan pedestrian 6-8 meter disepanjang jalan. Dengan bertambahnya pedestrian ini, pada waktu waktu ini kita bisa menikmati kegiatan kegiatan budaya, interaksi sosial setiap malam dimana warga solo tanpa takut turun ke Jalan dan bersosialisasi di area ini.
[4]
Kita boleh bermimpi dalam skala yang lebih besar, dalam perencanaan kota, menghasilkan placemaking / ruang ruang aktif yang berhasil dalam kota kita, dari ruang publik seperti taman, hingga jalan raya dan pedestrian dan perbaikan fisik ruang jalan dan publik kita.
Semakin banyak kesadaran dan usaha pemerintah bersama masyarakat menciptakan ruang ruang terbuka yang semakin terbatas dalam kota kita. Dari penghentian ijin pompa bensin umum dan mengembalikan fungsi taman taman di Surabaya dan jakarta, pelebaran pedestrian di jalan Sudirman Thamrin di jakarta, hingga penutupan area jalan kendaraan bermotor sementara untuk pedestrian semacam car free day di solo, Surabaya, Bandung, jakarta dan di ikuti kota kota lain di Indonesia saat ini.
Masih banyak tugas kita bersama dengan pemerintah dan desainer kota memperbaiki infrastruktur kota, memberikan aktifitas positif dalam ruang publik. Beberapa usaha bahkan bisa dimulai dari penduduknya tanpa harus menunggu perencanaan panjang untuk meningkatkan kualitas ruang publik dan jalan kita.
Komunitas dan penduduk adalah aset terpenting dalam kota kita, dari merekalah Negara dan kota berkembang, dan di Indonesialah komunitas menjadi contoh bagi Negara lain, dimana komunitas secara aktif berkembang menyumbangkan sumbangsih bagi Negara dan kotanya.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh teman-teman di bandung adalah KeukenBDG, dengan moto mereka spice of space, mereka melakukan gerilya menempati ruang ruang jalan dan publik, mengundang komunitas lokal untuk menjadi koki dan memasak kemudian membagi secara gratis, salah satu usaha mengembalikan pada publik ruang ruang yang menjadi komoditas pasar.
Sudah beberapa kali SurpriseStove mereka adakan, dari jalan di Dago, hingga ruang parkir di jalan Braga, dalam beberapa kali kami jongArsitek! turut serta dalam kegiatan ini bersama melambatkan waktu kita, yang terkadang terlalu cepat hanyut dalam pekerjaan dan dorongan kapital saat ini. Menciptakan dan menikmati ruang publik adalah cara untuk memiliki waktu refleksi, waktu untuk menaikkan nilai bertemu dengan orang lain, membuat pertemanan, dan berinteraksi dengan kota kita. Sebelum kita menunggu transportasi publik dan ruang publik yang bertambah baik, tidak ada salahnya kita memulai dari diri kita untuk memberi sumbangsih, merebut ruang publik kembali dan kampanye hidup berkota yang baik.
Seperti kata kami bersama, “we always complain about the chaotic of the city. let’s put it simply and take a break of that. Just come and join us to celebrate the city” mari berjalan dan berinteraksi.