Membangun Rumah Adat Ratenggaro Membangun Bangsa

[1]
 
Tersenyum, seorang wanita menengok lama, kemudian melambai tangan. Dari jauh, kain hitam bercorak merah kecil dan hijau yang membalut dada hingga dengkulnya semakin memudar hilang oleh pemandangan bukit. Dengan paras berahang keras, rambut hitam, dan kulit sawo matang, ia masih tampak gembira menyapa kami yang baru saja berlalu meninggalkan asap abu abu dibelakang, padahal sebuah ember hitam tampak memberatkan kepalanya dan kakinya masih harus menempuh sekitar 3 kilometer yang telah kami lewati untuk mencuci dan mengambil air bersih, belum lagi anaknya yang masih kecil di gendong di punggungnya.
 
Jalan masih berbatu dan tak cenderung mulus berlalu, beberapa kali pisang mas, plastik berisi baju ganti, dan botol botol air minum berlompatan seiring dengan jalan yang berlubang malaju dalam jalan aspal selebar 5 meter. Pohon pohon kedimbil bercampur dengan sengon dan kelapa setinggi 8 meter terus melambai dalam panorama padang rumput ketika musim penghujan atau pemandangan merah savanna pada musim kemarau, merundukkan cabang, saling berdempet dan terus menyembunyikan cerita cerita di baliknya.
 
Laut biru dengan deburan ombak masih terbayang. Pasir putih membentang jauh, bersusah payah menahan derasnya ombak pantai selatan, ombak begitu besar menggulung memecah berkali kali, berusaha menembus tanah karang kapur di pulau kecil ini. Di balik pantai ini, sebuah delta sungai terbentuk dangkal, menahan deras air biru asin, sebuah karang tinggi berdiri di delta sungai, diatasnya berdiri batu batu karang laut berbongkah bongkah sebesar kepala manusia disusun membentuk pagar, ditanah atasnya berdiri rumah rumah bergumul topi topi alang besar dan tersebar batu batu karang kubur berbentuk pasak besar menyebar. Di kerumunan itu, pohon pohon beringin besar setinggi raksasa mengelilingi berhimpit seperti sesak dengan gurat gurat akar diantara batangnya. Di bayang bayangnya kerumunan itu ketakutan, mendempet, memadat, sehingga tepi tepi topi itu sesak melampaui garis pagar batu yang mencengkeramnya. Ini adalah sebuah vista, sebuah bukit tebing diatas pantai dan berpenghuni bernama kampung Ratenggaro.
 
Itulah Pulau Sumba, Cerita tentang laut biru, tanah cadas, dengan sejarah kuda kuda liarnya yang semakin hilang.
 
DSC_0434-1-1250 sec at f - 5,0-ISO 125-18.0-55.0 mm f-3.5-5.6-NIKON D3100
 
[2]
 
Kesepakatan telah dilaksanakan setelah berkali kali terjadi pertemuan adat dengan para tetua adat di kampong Ratenggaro (rate : kubur, garo = suku garo, dibaca kubur suku garo) di rumah kebun milik kepala suku yang tidak mudah. Rapat-rapat ini pun beberapa kali mengalami perselisihan karena setiap warga merasa tegang,takut, bahkan curiga satu sama lain dalam menyikapi pembangunan rumah penting mereka. Tahun 2011 ini masyarakat Ratenggaro sepakat menerima partisipasi bantuan dari luar, dan sepakat akan membangun 3 rumah adat mereka yang akan di mulai dengan pembangunan rumah kepala adat, atau disebut juga uma katoda (rumah kepala) pada tahun ini juga.
 
Ratenggaro telah lama kehilangan rumahnya yang dahulu berjumlah 28 buah karena kebakaran hebat pada tahun 2004 yang tersisa 2. Kebakaran hebat yang melanda ratenggaro telah menyebabkan struktur kebudayaan desa berubah, Uma Katoda yang terbakar habis membuat masyarakat tidak dapat menentukan keputusan keputusan bersama, rumah yang dianggap netral dan pusat sebagai tempat pemilihan suara, menentukan waktu waktu penting kegiatan kampung seperti waktu bercocok tanam, waktu mendirikan rumah tidak dapat terlaksanakan.
 
Beberapa penduduk merasa tidak memiliki kepercayaan diri, merasa bersalah dan merasa menjadi generasi terhukum karena mendapat petaka tidak memiliki rumah adatnya. Mereka malu karena kebanggaan kampung telah hilang. Bertahun tahun mereka hidup dalam malu, hingga pada tahun 2011 ini mereka memiliki energi dan semangat baru setelah pada suatu hari ada bantuan partisipasi dari pihak luar untuk mendirikan satu rumah kepala adat.
 
Prestasi kampung yang dulu dikenal sebagai kampung pejuang yang makmur dan disegani, menjadi memudar bertahun tahun karena kebakaran dan sistem modernisasi disegala bidang. Dari perubahan sistem barter seperti kayu besar dengan binatang ternak, atau kemudahan mengambil kayu konstruksi di halaman mereka, kini harus berurusan dengan uang dan biaya perijinan. Kehilangan hampir 20 rumah adat bukan hal yang mudah bagi satu penduduk kampung, hingga pada tahun 2011 ini dengan adanya sentuhan patisipatif kecil dari Yayasan Tirto Utomo bekerja sama dengan Rumah Asuh dan Robert Ramone dari Rumah Budaya Sumba, menyadarkan dan menjadi katalis semangat baru kampung Ratenggaro untuk maju kembali dan bahkan menjadi energi baru untuk membangun seluruh kampung. Dengan dorongan kepedulian ini tiba tiba saja satu kampung merasa terhenyak, dan merasa harus memperbaiki kampung mereka dengan tangan mereka sendiri. Dalam tahun 2011 mereka menolak bantuan penuh menggantinya dengan metode partisipatif sehingga masyarakat sendiri tetap menymbang dan memiliki sense of belonging terhadap rumah utama ini. Disamping satu rumah utama, mereka sepakat membangun 2 rumah lainnya dengan biaya sendiri dan menargetkan akan mendirikan seluruh rumah dalam 3 tahun mendatang.
 
[3]
 
Masyarakat Sumba, khususnya ratenggaro telah dengan bijak menentukan langkah langkah pembangunan rumah. Pembangunan rumah harus dimulai dengan rapat seluruh masyarakat kampung pada bulan febuari, dimana semua keturunan Ratenggaro wajib datang rapat tahunan dan memberi sumbangsih atau saran saran terhadap kampung mereka, dari rapat tahunan ini jadwal bercocok tanam, perkawinan, pemakaman hingga pembangunan rumah di tentukan, dan tentunya proses demokrasi kecil ini bukanlah hal yang mudah menggabungkan 300-500 kepala pemikiran dalam satu waktu.
 
Setelah tanggal pembangunan rumah disepakati, maka yang dilakukan pertama adalah mencari Pohon Kedimbil untuk sebagai tiang utama. Pemilihan Pohon kedimbil pun tidak sembarangan, pohon ini harus memiliki tinggi lebih dari 10 meter dan sudah mencapai 80-100 cm diameter dengan asumsi berumur 60-80 tahun, sehingga pohon pohon ini ketika ditanam kembali akan sesuai dengan umur rumah dan membusuknya kayu untuk melakukan penggantian material atau pembangunan kembali. Pencarian dilakukan dengan melalui ijin dan doa persembahan ke alam dengan cara memotong hewan persembahan. Upacara ini adalah usaha untuk meminta ijin ke lingkungan sekitar untuk mengambil hasil bumi yaitu pohon untuk bahan konstruksi rumah dan dilain hal, pemotongan hewan dalam setiap upacara adalah salah satu cara mengganti jerih payah para pekerja sesuai dengan pekerjaannya. Setelah material telah terkumpul, material material ini dibawa dan dikumpulkan di halaman kampung, dan kemudian, diadakan persiapan pendirian konstuksi utama rumah.
 
Pendirian konstruksi utama rumah, terdiri dari 4 tiang utama, cincin tiang utama hingga rangka utama atap dalam satu hari. Pembangunan dalam sehari ini di gabung dalam satu hari sehingga pembangunan berat ini bisa dilakukan serentak dan banyak orang (300-500 orang) untuk menghemat waktu dan tenaga. Setelah pendirian rangka tiang utama hingga atap ini selesai, kemudian satu perwakilan keluarga akan naik ke atas rangka bambu atap yang bisa menjapai 14 meter untuk menyelesaikan ikatan rangka tambahan dan sekaligus berfungsi sebagai uji kekuatan konstruksi atap.
 
Setelah selesai dengan rangka dan topping off ini, maka dalam 1-2 bulan mendatang hingga awal bulan musim penghujan (oktober), rumah sudah harus selesai di finishing baik itu menutup atap dengan alang, menyelesaikan penutup lantai bambu sehingga penduduk kampung pada awal musim penghujan bisa memulai aktifitas berladang atau berkebun, sehingga sesuai dengan jadwal tahunan kampung.
Dapat kita bayangkan dengan jumlah pekerja yang tidak sedikit bisa mencapai 500 orang dalam membangun rumah adat, dalam kegotongroyongan dan ke hiruk pikuk, setiap proses pembangunan dapat disaksikan selalu penuh dengan teriakan semangat, tarian, dan tabuh tabuh kenderang. Budaya tarian atau di sebut ronggeng ini bisa dilihat sebagai penyemangat bagi pekerja yang berjumlah kolosal untuk tetap membangun dengan semangat gembira dan berjalan lancar.
 
Proses pembangunan ini mengingatkan kita ketika banyak negara mulai khawatir dengan memburuknya kualitas bumi kita, setiap orang dan ahli mulai memikirkan tentang mengembalikan bumi yang kian rusak hingga pada suatu saat Al Gore menyentak lewat film The Inconvenient Truth yang mengguncang seluruh dunia di iringi dengan maraknya Green Architecture. Tetapi di tempat ini, kita lupa bahwa tradisi hidup dan membangun Masyarakat Sumba dan beratus ratus tempat di seluruh Indonesia adalah inspirasi bagaimana hidup dan selaras dengan alam dan lingkungan sekitar, bagaimana hidup dengan cukup.
 
[4]
 
Hari hari ini adalah hari hari ke khawatiran kita yang tinggal di kota besar di Indonesia. Hari hari dimana kita khawatir setiap musim hujan, bersiap menerima banjir dari kota lain, atau ketika kita terjebak kemacetan luar biasa setiap harinya. Khawatir akan keamanan kita dengan sekitar kita kawasan perkotaan dengan jeruji teralis dan tembok tembok tinggi, khawatir akan masa depan anak cucu kita, apa yang tersisa, dan bagaimana mereka belajar bahkan hidup, dan bermain di kota kita. Khawatir dengan kualitas udara bahkan lingkungan kota yang semakin pekat polusi.
 
Ratenggaro dan masyarakat sumba lainnya menyimpan beratus budaya unik dan memiliki sistem sosial yang menarik. Di dalamnya bahkan kita dapat belajar demokrasi terbentuk dalam setiap pertemuan pertemuan warganya, dalam setiap kalender tahunan, pada tahun baru, seluruh isi kampung wajib datang, berislaturahmi, dan mengadakan rapat rutin kampung. Setiap orang berhak mengeluarkan pendapatnya, dan membahas rencana bersama untuk kampungnya.
 
Ratenggaro juga mengajarkan bagaimana berdampingan dengan masyarakat sekitarnya, membangun bersama sama, mendirikan satu tiang utama bersama dengan 500 orang lainnya dari kampung tetangga, saling membantu menyumbang berbagi hasil ternak atau ladang sebagai biaya pengganti kerja keras bersama sama, dan mengajarkan tentang arti kata cukup dengan menghargai alam ketika mengambil material secukupnya dari alam tanpa berlebihan. Masyarakat ratenggaro juga mengajarkan bagaimana menjaga kualitas lingkungan sekitar seperti pantai dengan tidak mengambil pasir darinya dan membangun di pantai selain keamanan pasang, juga sebagai bentuk mempertahankan pemberian Tuhan tanpa harus mengeksploitasinya dan membiarkan keindahan alam tersebut dapat dinikmati bagi siapa saja.
 
Di kota kota besar, kita sebagai kaum rasional yang berpikir secara modern, dengan segala keuntungan diri mungkin lupa bagaimana berdialog dengan alam, kita di kota lebih percaya, manusia sebagai pusat alam semesta yang menganggap alam sekitar kita hanyalah pelengkap untuk dieksploitasi bukan sebagai sahabat hidup.
 
Mobil berhenti. padang rumput luas sepoi berangin, dengan segelas kopi manis dari air panas termos, Sumba mengingatkan kita, satu tempat dengan berjuta inspirasi, akar kita, dan saudara kita. Seseruput kopi ini ditarik hingga ampas menyisa, dalam sore, masyarakat sumba bahkan tempat tempat lain yang menyebar di seluruh Indonesia, mengajarkan kembali tentang makna.
Hidup sederhana. (*)
 
Picture 584
 
IMG_2276
 
IMG_2252
 
IMG_7297-1-1000 sec at f - 4,5-ISO 80-6.1-30.5 mm-Canon PowerShot G12
 
IMG_7266-1-1000 sec at f - 4,0-ISO 80-6.1-30.5 mm-Canon PowerShot G12

About the author